Jumat, 05 Juli 2024

Setiap Orang Adalah Guru, Setiap Tempat Adalah Sekolah


Setiap orang adalah guru, setiap tempat adalah sekolah. Barangkali tajuk itu cukup untuk menarasikan kegiatan kemarin (4/07). Selayaknya pendidikan yang harus inklusif untuk semuanya, anak-anak di Menarbu juga berhak untuk dapat belajar di tengah banyak hambatan. Termasuk juga adanya sosial dan budaya masyarakat yang terkadang menjadi kendala. Namun, alih-alih menganggap sosial dan budaya sebagai hambatan, sebetulnya guru mampu mengubahnya untuk menjadi peluang yang menarik. Di Menarbu, masyarakat hidup dengan kebiasaan komunal yang cukup erat. Dalam beberapa minggu terakhir ini para orang tua di Menarbu baku bantu dalam membuat villa di Pantai Rowor, yang hasil upahnya dimasukkan ke dalam kas Persekutuan Anak Remaja (PAM), yakni organisasi kepemudaan di Gereja Sion Menarbu. Akhirnya anak-anak di kampung banyak yang bolos sekolah karena ikut orang tuanya bermalam di Pantai Rowor berhari-hari. Mereka akan kembali ke kampung pada hari Sabtu dan Minggu untuk mengikuti ibadah di gereja.

Siang itu telepon genggamku berbunyi, ada telepon dari Pak Charles, guru di SDN Menarbu sekaligus bapak piaraku di Menarbu. Ia hanya sekadar menanyakan kabarku yang sedang berada di Wasior, pusat Kabupaten Teluk Wondama. “Ibu sehat, kah?” begitu sapanya. Pada perbincangan itu aku juga berbicara dengan mama piaraku, serta menyapa adik-adik piaraku yang masih kecil dengan suaranya yang amat menggemaskan. Di tengah perbincangan, muncul ideku untuk membuat Kelas Jauh di Pantai Rowor. “Bapak, saya mau buka Kelas Jauh di Pantai Rowor. Bagaimana menurut bapak?” Tak disangka Pak Charles menyambutnya dengan antusias. Sejak saat itu, semangatku untuk mengadakan kelas di Pantai Rowor juga turut meletup-letup.

Perbincangan dengan Pak Charles tidak berhenti di situ saja. Aku mencoba membuat banyak orang untuk ikut andil dalam kelas ini. Aku yang sedang di Wasior mencoba berkomunikasi dengan Bapak Kepala Kampung Menarbu, Bapak Franky Apomfires. Ia menyambut baik ide ini. Menurutnya, anak-anak perlu untuk belajar di alam, mengenal lingkungan sekitar mereka. Dari kegiatan ini aku dapat menggali lebih jauh mengenai pemaknaan Pendidikan dari Bapak Kampung. Pembicaraan itu kemudian berlanjut pada keresahanku atas kurangnya dana yang digunakan untuk mendukung kelas tersebut, aku mengangkat pembahasan mengenai dana pendidikan yang ada di keuangan kampung. Bapak Kampung menyanggupi untuk menanggung biaya yang dibutuhkan di kelas. Tak disangka ia melakukan hal yang lebih besar dari itu tanpa aku minta, Bapak Kampung bahkan membuat para-para (tempat duduk untuk bersantai) di Pantai Rowor yang dapat digunakan untuk belajar. Bapak Kampung juga membantu untuk menyebarkan informasi kelas ini kepada masyarakat Menarbu yang membawa anaknya pergi bekerja di tempat lain.

Aku ingin membuat lebih banyak lagi orang yang berkontribusi di kelas ini. Aku mencoba berkomunikasi dengan para Pengasuh Sekolah Minggu yang ada di Gereja Sion Menarbu. Mereka tertarik ikut berkontribusi di kelas ini. Bersama dengan Pak Charles, para pengasuh mengkoordinir anak-anak untuk ikut serta pergi ke Pantai Rowor. Pak Charles meminjam perahu milik salah satu masyarakat.

Kelas itu akhirnya terwujud berkat kontribusi dari banyak pihak. Teman dari Pengajar Muda penempatan kampung lain ikut meramaikan kelas tersebut. Juga ada beberapa rekan masyarakat Wasior yang bekerja di Bandara Teluk Wondama juga ikut meramaikan dan mendampingi anak-anak. Kelas Alam sore itu berjalan dengan lancar. Anak-anak semua bergembira. Para pengasuh Sekolah Minggu juga ikut belajar mengenai metode belajar anak-anak.



Aku membawa beberapa media belajar tentang literasi dan numerasi. Anak-anak begitu antusias belajar menggunakan media yang telah kusiapkan. Mereka belajar sambil bermain di Pantai Rowor dengan semangat. Saat waktu istirahat tiba, kami menyantap makanan yang telah disiapkan oleh para mama yang bermalam di Pantai Rowor. Tampak anak-anak yang juga berenang di pantai sembari menunggu kelas berikutnya.

Dengan bermodalkan gitar aku mengajak semuanya untuk bernyanyi. Kami belajar menyanyikan lagu “Laskar Pelangi”.

Menarilah dan terus tertawa

Walau dunia tak seindah surga

Bersyukurlah pada Yang Kuasa

Cinta kita di dunia

Selamanya





Barangkali penggalan lirik ini yang menyimpan segala harapanku untuk anak-anak dan masyarakat Menarbu. Hidup dengan banyak keterbatasan akses bukanlah alasan untuk tidak dapat berkarya. Banyak hambatan yang ditemui di tengah jalan dapat dilihat dari sudut pandang yang lebih ramah. Menarbu memiliki modal sosial yang besar. Harus ada gerakan kolaborasi yang disadur untuk kepentingan pendidikan anak-anak. Semangat ini yang coba kujaga selama bertugas di Menarbu: Menularkan keberanian untuk bermimpi kepada anak-anak.

Rabu, 08 Mei 2024

Apakah Bercita-cita Harus Setinggi Langit?


Pada Hari Pendidikan Nasional kemarin anak-anak menuliskan cita-citanya pada Sticky Notes. Cita-citanya beragam, ada yang ingin jadi dokter, polisi, tentara, arsitek, pendeta, bahkan ada yang menuliskan ingin menjadi bajak laut. Namun ada satu yang kejadian yang menarik. Ada salah satu anak yang bercita-cita ingin menjadi nelayan. Saat ia berbicara di depan kelas menjelaskan mimpinya seisi kelas riuh menertawakan. Jelas tidak ada yang salah dari cita-citanya. Namun, agaknya anak-anak menganggap “nelayan” itu cita-cita yang remeh. Sedang yang mereka yakini bercita-cita harus setinggi langit. Karena jika terjatuh ia akan jatuh di antara bintang-bintang.

Masyarakat Menarbu, Distrik Roon, seluruhnya menjadi nelayan untuk dapat makan di hari itu juga. Ini yang setiap hari dilihat oleh anak-anak. Inilah yang ada di kepala anak-anak ketika mendengar temannya bercita-cita ingin menjadi nelayan.

Di sini peran gurunya yang bekerja. Membuka pandangan baru bahwa nelayan adalah profesi yang sama pentingnya. Nelayan tidak sebatas mencari ikan dengan dayung yang biasa dilakukan oleh bapak dan mamanya. Nelayan bisa berlayar jauh dengan kapal besar menangkap ikan di luasnya lautan yang tidak pernah terpikirkan anak-anak. Nelayan dapat membawa kapalnya untuk berlayar dengan kokoh mengarungi derasnya badai. Dan itu semua membutuhkan ilmu. Membutuhkan banyak belajar dari bangku pendidikan. “Jika ingin jadi nelayan besar, belajarnya harus rajin!” 

Setiap hari mereka melihat kapal penangkap ikan dari kejauhan. Yang hanya menyisakan lampu redup pada malam hari. “Itulah yang ibu maksud. Nelayan dengan kapal besar yang memastikan setiap orang Indonesia dapat makan ikan yang dibelinya di pasar. Jadilah seperti itu.” Beragam pertanyaan bermunculan. “Kapal besar itu pakai mesin besar to, ibu?” Jujur aku tidak tahu bentuk mesin kapal itu seperti apa. Namun jika melihat besar kapalnya, masuk akal sih jika mesinnya juga besar. “Iya to, mesinnya besar, tra pakai dayung lagi,” kataku.

Anak-anak selalu antusias menanggapi hal-hal baru. Rasa ingin tahunya cukup tinggi untuk melihat hal besar yang berada di luar pulaunya. Meskipun setiap harinya yang ditemukan itu-itu saja, mereka gemar berandai-andai mengenai apa yang terjadi di luar sana. Tentang bagaimana pesawat bisa terbang tinggi, bagaimana jalanan di Jakarta dipenuhi oleh kendaraan, bahkan tentang bagaimana bisa gurunya betah sekolah hingga perguruan tinggi dan masih ingin melanjutkan pendidikan lagi di kemudian hari. Dari obrolan yang keluar dari kepala mereka itu lah kadang cita-cita itu muncul. “Makanya kalian sekolah yang rajin, biar nanti bisa pergi temui ibu di Jawa.”

Minggu, 28 April 2024

Ibu Guru, Indonesia Itu di Mana, Kah?

 




Hari pertama penugasanku di Kampung Menarbu, Distrik Roon, Teluk Wondama, Papua Barat disambut dengan pertanyaan “Ibu guru, Indonesia itu di mana, kah?” Pertanyaan ini sederhana. Mudah saja dijawab bahwa Indonesia terbentang dari Sabang sampai Merauke: Menarbu jelas ada di dalamnya. Menarbu termasuk di dalam Indonesia. Tapi jawaban itu tidak menjawab pertanyaan tadi secara ideal. Nilai itu sama sekali bukanlah yang aku pegang dan aku imani bahwa Indonesia hanya sebatas wilayah geografis. Menurutku Indonesia adalah identitas yang harus disadari secara sukarela.

Menarbu adalah kampung kecil yang berada di balik sisi Pulau Roon. Kampung ini hanya bisa diakses dengan perahu milik warga selama 3 jam dari pusat kabupaten. Tidak ada transportasi umum membuat aksesnya cukup sulit. Pertama kali berangkat ke kampung aku sama sekali tidak menyangka bahwa di lautan luas yang tidak terlihat ujungnya ini ada sebuah kampung yang menghadap langsung ke Teluk Cendrawasih: rute kapal domestik dari Makassar menuju Jayapura.

Pemukiman di Menarbu semuanya menghadap ke laut dengan rumah panggung yang berjajar teratur. Kampung ini membelakangi bukit yang dimanfaatkan masyarakat untuk berkebun. Sehari-hari Menarbu hanya dialiri listrik pada pukul 18.00 – 24.00. Tidak ada kios di sini. Untuk kebutuhan sehari-hari masyarakat memanfaatkan seluruhnya pada hasil alam. Penduduknya hampir seluruhnya adalah masyarakat asli Papua. Hanya 1 orang saja pendatang dari Manado yang sudah menetap di Menarbu selama 20 tahun lebih.

Kembali pada pertanyaan “Ibu guru, Indonesia itu di mana, kah?” Selama ini ternyata anak-anak di Menarbu sering mendengar kata “Indonesia” tetapi banyak dari mereka tidak tahu apa itu “Indonesia”. Tentu ini bukanlah kesalahan mereka. Bukan pula kesalahan orang tuanya. Bukan juga kesalahan guru yang pernah mengajarnya. Ketidaktahuan itu bukan sebuah kesalahan. Tetapi, meskipun begitu, ternyata kita mesti perlu banyak berbenah.

Aku putuskan membuka kelas pertamaku pada malam itu dengan gambar peta Indonesia. Aku berusaha membuat belajar malam itu menjadi pengalaman yang menarik untuk mereka. Tentu aku tidak menjelaskan definisi negara menurut Max Weber sebagai hasil interaksi dari bla bla bla. Atau menurut Aristoteles bahwa negara terbentuk karena perkumpulan dari desa yang bla bla bla. Malam itu aku menjelaskan Indonesia sebagai identitas. Bahwa kita adalah Indonesia. Bahwa Papua adalah Indonesia. Akupun mengesampingkan egoisme terkait bagaimana selama ini aku turut kecewa atas peminggiran yang banyak diterima oleh masyarakat Papua di barat sana. Aku membawa dongeng-dongeng indah mengenai keberagaman dan rasa toleransi yang tinggi di Indonesia. Tentang bagaimana toleransi antar agama yang damai. Tentang bagaimana saudara mereka umat Nasrani yang tenang beribadah di gereja. Tentang penerimaan atas mahasiwa Papua yang ada di Jawa. Dan banyak dongeng lainnya lagi. Secara tidak sadar aku sedang mempresentasikan tentang bagaimana Indonesia yang ada di kepalaku kepada anak-anak yang sedang menerka-nerka seperti apa kehidupan yang ada di luar pulau yang amat mereka cintai ini: Papua.

Selama ini dengan melihat realitas tentang banyaknya ketidakadilan yang terjadi dan ketimpangan yang seakan dibangun, tak ada sedikitpun rasa kecintaanku terhadap Indonesia. Tetapi di Menarbu cinta Indonesia bagiku mulai terdefinisi. Cinta Indonesia bagiku adalah mencintai masyarakatnya. Mencintai kehidupan mereka. Mencintai keberagaman yang banyak memberiku pelajaran. Ini semua kembali kepada kesadaran untuk mau berbuat sesuatu terhadap mereka yang berada di tempat paling jauh. Suaranya memang paling senyap dan cahayanya memang yang paling redup. Tapi mereka tetap mengusahakan untuk terus tumbuh dengan banyak keterbatasan yang dihadapinya.

Menarbu hanya salah satu dari banyaknya tempat yang minim akses dari banyak hal. Mungkin ada banyak anak-anak di tempat lain yang tidak tahu Indonesia itu ada di mana. Pendidikan adalah lilin yang menerangi setiap sudut yang tidak pernah kita bayangkan ada kehidupan di dalamnya. Satu-satunya asa yang bisa diterbangkan untuk mengantarkan anak-anak melihat kehidupan yang ada di luar sana. Harus lebih banyak lagi lilin-lilin yang dihidupkan untuk menerangi Indonesia. Pada tempat yang paling dalam sekalipun. Pada tempat yang paling luar sekalipun. Pada tempat yang paling jauh sekalipun.

 

Jumat, 25 Agustus 2023

Keluh Kesah Event Era Dikit-dikit Cancel



Bagi orang yang suka datang ke festival musik, kejadian akhir-akhir ini memang bikin trust issue. Event postponed dan canceled ada di mana mana. Beruntungnya saya tidak pernah jadi korbannya. Bukan karena apa, kebetulan saja saat mereka menjual tiket, saya sedang tidak ada duit. Ya ada sih, tapi tidak diprioritaskan untuk hal-hal kesenangan selama 5 jam saja. Alhamdulillah.

Kenapa bisa begitu, ya? Festivalan tentu sudah ada jauh sebelum corontol. Tapi kenapa ketika demand anak skena tinggi untuk festivalan justru event-nya malah nggak serius. 


Mungkin ini bisa dijelaskan sedikit dengan teori permintaan dan penawaran. Permintaan akan festival naik drastis pasca corontol. Sisi penawaran meresponnya dengan menambah jumlah penawaran untuk meraih untung sebanyak-banyaknya.


Harga tiket festivalan pasca corontol dirasa-rasa memang lebih mahal. Memang benar kata Aldi Taher, semua orang di dunia ini bingung, nanti nggak bingung kalau sudah di surga. Ini wajar saja. Permintaan yang tinggi akan festivalan setelah 3 tahun diam di rumah gara-gara corontol membuat harga tiketnya jadi mahal. Ya itu sah-sah saja. Memang begitu cara dunia bekerja.


Promotor meresponnya dengan membuat penawaran yang semakin menarik: jumlah musisinya banyak. Musisi juga menyadari bahwa animonya tinggi maka memberikan penawaran yang lebih kreatif dari sebelumnya.


Di sini mungkin letaknya. Hasrat mengambil untung yang besar atas lonjakan permintaan membuat promotor kalap. Aneh-aneh saja idenya. Misal menggabungkan musisi dengan genre yang sangat berbeda. Ada salah satu event yang menggabungkan The Panturas, FSTVLST, Nadin Amizah, Pamungkas, dan satu musisi pop kenamaan lain yang otak mungilku ini lupa dia siapa. Ya jelas saja, penikmat Panturas dan FSTVLST akan berpikir ulang untuk membeli tiket karena merasa rugi. Mengeluarkan budget untuk 5 musisi, namun hanya menikmati 2 saja. Begitupun sebaliknya. Penikmat Nadin Amizah tentu tidak tahu siapa itu FSTVLST. Benar saja, salah satu komentar yang saya temukan kira-kira begini. “Cuma tahu Nadin dan Pamungkas aja. Rugi beli tiketnya, mahal.” Sebagai pendengar FSTVLST saya sakit hati dikit sih, tapi ya sudah lah. Saya sering merasakan sakit hati yang lebih hebat dari pada ini.


Lalu apa, ya tiketnya nggak laku! Acaranya canceled! Diminta refund ngang ngong ngang ngong. Surplus konsumennya kecil. Bisnis apapun yang bertahan di pasar adalah mereka yang mampu memberikan surplus konsumen paling besar. Apa panitianya nggak mikir sampai sana, ya? Banyak musisinya, tapi gagal memberikan surplus yang besar.


Segala sesuatu yang dipostponed atau canceled saya berani taruhan mayoritas pasti perkara duit. Duit dibawa kabur sehingga tidak bisa bayar vendor. Perencanaan yang kurang matang sehingga saat duitnya dibutuhkan justru duitnya belum ada. Hal seperti ini memang lumrah saja terjadi. Atau bisa saja saya yang sok tahu. Karena saya hanya penikmat. Bukan orang yang bekerja di dalamnya secara langsung.


Para promotor bajingan ini berdosa besar terhadap industri musik Indonesia. Saya rasa, tidak hanya saya yang trust issue di sini. Kepercayaan terhadap festival musik menjadi turun. Akhirnya, promotor yang memang niat berbisnis jadi kena imbasnya: konsumennya turun. Kalaupun tidak turun, banyak dari mereka yang lebih memilih beli tiket on the spot saat hari H acara untuk mengantisipasi acara batal / mundur. Lha ini juga merugikan. Seharusnya promotor dapat pendapatan dari pre sale sebelum acara berlangsung untuk bayar vendor atau artis. Tapi karena duitnya ada di belakang, ya mereka lagi-lagi kesusahan untuk ini. 


Ini bukan hal sepele lho. Kepercayaan konsumen itu seharusnya dijaga bersama-sama di komunitas ini. Industri kreatif itu sulit. Untuk hidup dari industri ini pun juga sulit. Mung promotor kuwi mau sek silittt. 


Apresiasi setinggi-tingginya bagi promotor manapun yang berhasil menggelar event sesuai dengan penawaran awal ke konsumen. Industri ini perlu dihidupkan secara masif lagi untuk keberlanjutan banyak orang. Sebagai sumber nafkah dari banyak keluarga. Juga salah satu sumber pendapatan bagi negara. Yang tidak terima negara boleh ambil bagian silakan pindah negara saja. Atau bikin negara sendiri mah wangun. Aku bagian nyebarin propaganda saja.


Kontribusi industri musik terhadap PDB di tahun 2022 lalu diproyeksikan nilainya 7 triliun. Ini angka yang besar buat ukuran negara seperti Indonesia. Tentu tidak ada apa-apanya jika dibandingkan dengan Korea Selatan. Pemerintah Korea Selatan berinvestasi sangat besar di industri musiknya. Wajar kalau return-nya besar. Kalau di sini, ya ada sih investasinya, tapi rupanya masih difokuskan pada sektor lain yang dirasa paling mendesak, misalnya pindah ibu kota. Ibarat kata, industri musik belum begitu seksi untuk dijadikan produk unggulan di negara ini.


Sejujurnya saya tidak tahu menahu mengenai apakah pemerintah turut berinvestasi di sektor industri musik Indonesia. Tetapi, mungkin bisa ambil bagian dalam mengatasi tindakan promotor silit yang sudah dibahas di awal melalui Menparekraf. Pendengar musik juga konsumen. Sama pentingnya dengan konsumen FMCG, nikel, kelapa sawit, dan industri seksi lainnya di negeri ini.


Kreativitas saja tidak cukup untuk menyuburkan iklim industri musik. Musisi juga butuh makan meskipun masing-masing dari mereka memiliki idealismenya sendiri tentang pemaknaan musik. Ambil untung saja dari industri ini tanpa memperhatikan pelakunya sama saja riba.


Indonesia sangat punya potensi kok untuk menyuburkan industri kreatif. Karena survei bohongan membuktikan 88% pemuda Indonesia itu kena mental illness. Kita semua butuh healing. Pasar sudah ada. Tinggal info festival yang trusted no tipu tipu.

Cuap-cuap Singkat Sepak Bola. Hanya Boleh Dibaca Sembari BAB Saja, ya!

 


        Saya adalah orang yang gemar menonton. Menonton apapun. Festival musik, film, orang mancing, kucing makan, dan lain-lainnya kecuali orang ngupil. Karena saya merasa awkward saja jika orang yang saya lihat sedang mengupil itu tau kalau saya sedang melihatnya ngupil. Baru-baru ini, saya baru tahu bahwa ternyata saya juga gemar nonton pertandingan sepak bola. Terima kasih, PSS Sleman!

    Semua ini terjadi secara tergesa-gesa, tidak lain karena saya kenalan dengan laki-laki Jawa asli Sleman yang sedang berusaha mendekati saya. Karena dia lumayan, ya saya dekati balik saja sekalian. Dia yang membuat sepak bola menjadi indah di mata saya.

     Diberikannya kaos warna hitam dengan tulisan “Laskar Sembada” di dada sebelah kirinya. Saya menerimanya dengan tertawa terbahak-bahak sebab saya menyadari sedang dibujuk untuk ikut nonton pertandingan bola.  Dengan dua tiket tribun merah, akhirnya saya mencoba pengalaman yang sangat asing ini untuk kali pertama dalam hidup saya: menonton sepak bola secara langsung di stadion. Saya masih ingat betul, pertandingan waktu itu adalah PSS Sleman kontra Borneo FC!

        Beberapa waktu sebelum pertandingan, saya mempersiapkan diri dengan cukup baik. Saya belajar apa itu offside. Remeh sekali bukan? Tidak, sangat jelas ini bukan sebuah hal remeh buat saya. Saat itu saya berpikir lebih baik saya memikirkan “jika kebenaran itu relatif maka apakah printing money boleh dilakukan di Indonesa asalkan peredarannya teratur” dari pada harus memahami sepak bola. Jelas ini sangat rumit buat saya. Tetapi karena saya tipikal orang yang selalu berusaha mengapresiasi orang lain, maka saya memiliki keinginan yang besar untuk menyenangkan gebetan saya saat itu dengan mempelajari sepak bola. Agar waktu nonton saya tidak plonga plongo kebanyakan bertanya.

        Sore itu cukup terik, namun beruntungnya panas matahari tidak sampai menggigit. Saya kenakan kaos laskar sembada dengan celana jeans yang harganya cukup mahal buat saya, itu celana terbaik yang saya punya btw. Sampai di stadion segalanya begitu bising. Tapi saya selalu menyukai keramaian. Kami duduk di tribun merah bagian tengah dengan harapan dapat nyaman menonton jalannya pertandingan.

        Ya ampun, ternyata orang-orang nonton bola itu sangat emosional, lho! Saat pemain PSS Sleman gagal menggiring bola dan berhasil di-tackle lawan, semua orang mengumpat asu bajingan bali wae nyukkk. Hahhhh??? Tetapi ketika pemain PSS Sleman berhasil mencetak gol, mereka tertawa dengan gembiranya seakan lupa tadi dia telah mengumpat sebanyak itu. Buatku ini ekspresi yang unik sih. Sebuah relasi yang tidak akan pernah saling menyakiti. Segala caci maki saat permainan didominasi oleh permainan yang jelek, digantikan dengan rasa sayang yang begitu besar hanya karena satu gol.

       Tidak banyak yang saya ketahui tentang sepak bola. Kilas balik saat saya (mungkin) berusia 12 tahun, saya menamatkan buku 11 Patriot milik Andrea Hirata. Bercerita mengenai peminggiran sepak bola dalam negeri yang amat begitu jago melawan sepak bola Belanda. Rupanya ego Belanda bergetar karena tim sepak bolanya kalah terus-terusan. Namun sebenarnya tidak sesederhana menang dan kalah. Sejak dulu, sepak bola erat kaitannya dengan politik. Cabang olah raga yang satu ini selalu berhasil memantik animo masyarakat yang cukup besar. Makanya, kerap dijadikan sebagai alat politik untuk membesarkan nama Belanda. Akhirnya yang terjadi, pemain pribumi yang jago saat itu dipatahkan kakinya hingga tak dapat berlari lagi. Mereka diasingkan, dipinggirkan, tak diberi kesempatan.

        Berbicara tentang bola dan politik sebenarnya cukup menggelitik buat saya pribadi. Sederhana saja, dua hal tersebut merupakan objek yang sangat tidak saya kuasai. Namun melihat betapa pengaruh sepak bola ini sangatlah besar, sepertinya menarik juga untuk diikuti. Di kaca mata saya yang sempit ini, politik adalah segala usaha yang dilakukan untuk mencapai sesuatu. Contoh yang paling baru dan paling mudah untuk diangkat adalah kampanye bendera pelangi pada Piala Dunia 2022 lalu sebagai wujud dukungan anti diskriminasi bagi para kelompok marjinal, yakni LGBT+. Apakah ini efektif? Jujur saya tidak berani menyimpulkan sebab keterbatasan informasi mengenai output apa saja yang berhasil dari kampanye itu.

        Bergeser sedikit di awal tahun ini. Indonesia berkesempatan menjadi tuan rumah Piala Dunia U20. Lagi-lagi ada politik, tuan rumah dapat ikut bermain tanpa adanya seleksi. Namun, berbagai penolakan pun bermunculan sebab beberapa tokoh politik Indonesia cukup santer menolak kehadiran Israel sebagai salah satu peserta. Ini bentuk solidaritas Indonesia terhadap Palestina yang belum merdeka atas Israel, katanya. Dalam kasus ini saya bisa bilang bahwa itu tidak sukses. Kerugian yang ditimbulkan begitu besar. Setelahnya Indonesia dinyatakan batal sebagai tuan rumah. Tim Nasional Indonesia gagal mencicipi bertanding dalam laga internasional. Rugi moral dan materi, lagi-lagi.

        Sebenarnya tidak semudah itu juga, sih. Tidak jelas juga sebenarnya batalnya Indonesia menjadi tuan rumah ini disebabkan karena alasan menolak Israel, atau karena Indonesia belum siap saja menjadi tuan rumah. Kita masih punya banyak PR dalam hal ini. Kemarin 135 itu bukan angka, lho. Sebanyak itu tewas sia-sia karena sepak bola. Hingga kini 135 itu juga belum dapat keadilan. Tidak usah saya jelaskan 135 ini apa, kalian sudah tahu sendiri, kan?

        Tidak menutup kemungkinan kasus di atas bakal menjadi alat politik juga mendekati event terbesar 2024 mendatang. “Pilih saya, maka akan sy tuntaskan keadilan bagi 135 itu” seperti yang sudah-sudah. Menurut saya ini kampanye yang oke sih jika dibandingkan bakar duit triliunan untuk nyap. Ini lahan yang sangat subur lho. Sepak bola selalu menjadi alat diplomatis yang narsis karena animonya sangat besar. Dari generasi ke generasi selalu begitu, dan saya rasa akan selalu begitu.

 

Sabtu, 14 Januari 2023

Dara Setara: Lingkaran FSTVLST yang Penuh Cinta



"Selamat menikmati acara!" Kata Farid Stevy, vokalis FSTVLST, langsung kepada saya. Jelas saya menikmati acara tersebut, bahkan beberapa jam sebelum acara dimulai: menyiapkan outfit. Saya tidak cukup nyeni untuk punya kain jarik. Maka saya bingung untuk mencari pinjaman, dan dapat! Rupanya bukan cuma saya yang excited mempersiapkan busana, ada perempuan lain yang saya tidak sengaja mendengar ia mengucapkan "Aku udah nyiapin outfit dari semalam!"

Jika kamu mendambakan sebuah suasana yang hangat dan penuh cinta, Dara Setara malam itu adalah tempatnya. Sebuah acara khusus perempuan yang diadakan oleh FSTVLST di Liberate Creative Colony pada 13 Januari 2023 lalu. Semua perempuan yang datang tampak cantik dengan berbagai busana kebaya, batik, dan tampilan nyeni lainnya.




Seluruh komponen di acara tersebut begitu diperhatikan sehingga berhasil menampilkan pesan kesetaraan yang ingin disampaikan. Tajuk Dara Setara bukanlah omong kosong. "Persembahan sederhana untuk para perempuan tercinta," kata pembawa acara membuka pagelaran. Tepuk tangan serta riuh suara para perempuan cukup nyaring malam itu.

Acara dibuka oleh DVY, sebuah duo musik yang beranggotakan perempuan. Salah satu lagu yang paling membekas untuk saya adalah Semalaman yang menggambarkan keberanian dan kekuatan seorang perempuan.


“Harus mendaki

Setinggi berpikir semuanya pasti

Seperti mimpi-mimpi yang diselami

Tidak berhenti meski tak disamai

Pagi yang jauh

Satu persatu memelankan mau

Menutup maju dan memaksa rapuh

Menahan bahu dari masa lalu

Selamkin dalam pemikirannya

Menusukmu perlahan

Seperti mekar bunga

Berwarna-warni

Dipatahan mati dalam cahayanya”

 

Band selanjutnya yang turut meramaikan gelaran Dara Setara adalah Soegi Bornean. Ini pertama kali saya mengenal Soegi Bornean setelah Asmaralibrasi menjadi tren. Satu yang saya paling kagumi adalah ternyata suara vokalisnya sangat indah! Juga cantik dan menenangkan.

Selain band ada juga penampilan pelengkap yang meramaikan Dara Setara. Yakni live painting dari Mutiara Riswari dan pertunjukan tari dari Sanggar Kinanti. Mari kita bahas lukisan abstrak dari Mutiara Riswari terlebih dahulu. Pendengar FSTVLST pasti tidak asing dengan tembang Akulah Ibumu.

“Akulah tanah

Akulah Air

Akulah Samudra

Akulah ibumu”

 

Mahara Riswari mecoba mengkatarsiskan tembang tersebut ke dalam lukisan abstrak yang dinilainya sebagai rahim ibu. “Aku ingin merepresentasikan dunia ini seperti di lagunya FSTVLST (Akulah Ibumu) dalam bentuk Rahim. Perempuan juga sumber dari seluruh umat manusia. Jadi penghormatan aku untuk seorang perempuan, ibu, kakak, dan orang-orang terdekat itu melalui abstraksi ini. Seorang perempuan yang penting dalam hidupku,” ucap Mahara Riswari. Lukisan tersebut dikerjakan oleh Mahara saat berlangsungnya acara sehingga khalayak dapat melihat proses pelukisan.




Lanjut ke Sanggar Kinanti yang beranggotakan enam orang perempuan. Mereka menari dengan indah di atas panggung. Para penari merupakan sosok perempuan yang memiliki banyak peran di masyarakat. Seperti Mbak Mawar (anggap saja itu namanya, karena saya lupa) merupakan seorang ibu, istri, berkarir, serta aktif di sanggar tari. Menjadi perempuan, utamanya ibu, bukanlah sebuah halangan untuk mengekspresika diri di dalam pekerjaan maupun untuk sekadar hobi. Mbak Mawar telah membuktikannya.

Di sela-sela istirahat pergantian penampil, momen yang tidak saya lupakan setidaknya dalam 100 tahun ke depan adalah berjabat tangan dan ngobrol langsung dengan Farid Stevy. “Maaf ya mas, saya deg-deg an,” ucapku saat itu kepada Mas Farid karena suara saya sepertinya bergetar. “Gapapa saya juga deg-deg an,” candanya. Kemudian saya tertawa meresponnya. Selang beberapa saat kemudian bocil cantik menyapaku. “Anak saya (sambil menunjuk bocil itu),” kata Mas Farid dan menyuruh bocil memperkenalkan diri. Ah! Cantik sekali, suaranya ramah dan halus dengan pakaian kebaya kutu baru yang lucu.



“Aku membayangkan 10 tahun lagi mungkin dia (anak perempuannya) mulai akan nonton acara musik bersama teman-temannya, nonton festival musik rock. Aku berharap komunitas musik rock berikutnya akan aman dan nyaman untuk para perempuan. Dan kalau misal tidak dimulai dari band bapaknya sendiri ya menurutku itu kemudian omong kosong,” kata Mas Farid ketika saya bertanya spesialnya Dara Setara buat personal Mas Farid sendiri. Saya rasa Mas Farid saat itu sedang serius ketika mengatakannya, terdengar dari suaranya yang lantang serta tatapan matanya yang fokus ke satu titik.

Mesikpun datang sendirian, saya tetap merasa aman. Lingkungan aman seperti ini seharusnya dapat diakses oleh perempuan di semua tempat. Bebas dari pelecehan, stigma, dan konstruksi sosial yang merugikan. “Industri ini dipenuhi oleh laki-laki, kantor ini mayoritas juga laki-laki, pedengar FSTVLST juga mayoritas laki-laki. Dengan ini semoga para laki-laki mulai peduli dengan isu-isu perempuan di lingkungannya,” ucap Mas Farid.

Para perempuan mulai merapat lagi ke panggung sembari menyaksikan penayangan video musik dari lagu Hari Terakhir Peradaban yang diambil saat FSTVLST berpartisipasi dalam Pestapora. Di akhir video disambut dengan tepuk tangan meriah serta teriakan khas perempuan dengan suaranya yang melengking. Lanjut ke saat yang ditungg-tunggu, FSTVLST membuka penampilannya dengan Akulah Ibumu. Para perempuan ikut menyanyikannya, membuat suasanya lebih terasa magis.

Bayangan awal ketika memasuki venue, para dara menontonnya dengan slay, ikut menyanyi, sesekali menggerakan tubuh. Tapi ternyata tidak, sumpah mereka moshing! Hal yang tidak pernah saya lihat sebelumnya sekumpulan perempuan ikut membuat lingkaran di kerumunan FSTVLST. Saya ikut terbawa suasana ke dalam crowd surf, jelas saya bukan yang diangkat, tapi saya yang di bawah. Ini pengalaman pertama saya melakukannya, seru banget! Saya tidak ingin ini menjadi yang terakhir sebab saya menginginkan pagelaran Dara Setara selanjutnya.

Para dara yang datang malam itu jumlahnya cukup banyak. Ternyata ini juga disadari oleh Mas Farid, alasan FSTVLST mengadakan Dara Setara karena menyadari bahwa ada lonjakan penonton perempuan yang signifikan. “Sekarang kami menemukan fenomena bahwa yang datang ke acara FSTVLST bukan hanya laki-laki. Harapannya besok para pendengar laki-laki bisa berkenalan dengan pendengar perempuan, dan aware bahwa besok ketika di pentas FSTVLST harus berbagi dengan penonton perempuan,” ujar Mas Farid.

Ujaran mengenai kesetaraan banyak diutarakan. Mulai dari pembawa acara hingga interaksi antara musisi dengan penonton. Namun yang paling kerap disinggung sejak publikasi acara hingga acara berlangsung adalah sosok ibu. Teladan dari sosok ibu dapat diadopsi untuk merawat satu sama lain. “Kemampuan merawat yang dimiliki oleh seorang ibu itu harus selalu diteladani. Kita belum bisa merawat pertemanan, persaudaraan, atau kemudian merawat alam dengan baik. Setidaknya kemudian kita bisa mulai meneladani yang dilakukan oleh ibu-ibu kita,” kata Mas Farid bercerita. Di samping itu ada saya yang menahan air mata mendengarkan penjelasan Mas Farid. Sebab itu membuat saya teringat mengenai mama di rumah yang selama ini telah memberikan hidupnya ke saya. Banyak sekali hal yang telah ia korbankan dan ia usahakan agar saya bisa melanjutkan pendidikan. Tetapi yang saya lakukan di Jogja malah healing terus-terusan.

Begitulah malam itu berlangsung. Para perempuan yang datang dengan pakaian dan rambut rapi, riasan cantik, dan aroma yang wangi kemudian mengakhirinya dengan tawa dan ekspresi diri yang bebas. “Acara seperti ini membuat kita jadi bebas berekspresi. Biasanya kan event FSTVLST kita cuma nyanyi di pinggir atau di belakang kan? Tapi hari ini kita benar-benar lepas melakukan apapun yang kami mau, karena kami tau ini pasti aman, sekeliling kita adalah sesama perempuan,” kata Bela, salah satu penonton yang saya temui di akhir acara. Ia datang menggunakan kaos FSTVLST, celana pendek, pakai sneakers. Mukanya yang bulat nampak lucu dengan bucket hat. Salam kenal, Bela!

Kalian para Festivalist laki-laki, ada pesan dari Mas Farid. Begini katanya:

“Kalian sekarang harus berkenalan dengan Festivalist perempuan, kemudian berbagi ruang, berbagi kesadaran, saling menghormati, dan membuat apa yang kita rayakan di FSTVLST menjadi ruang aman, nyaman, dan membahagiakan buat semuanya!”

 

 


 [A1]

Minggu, 05 Desember 2021

FSTVLST Manggung Online: Ajang Memutar Kenangan hingga Momen Cari Jodoh




Tiap orang punya caranya masing-masing dalam  merayakan kesedihan. Begitupun saya di malam itu, punya cara sendiri untuk merayakan Minggu yang mendung. Tak lain adalah dengan menonton FSTVLST, band asal Yogyakarta yang cukup terkenal di kalangan anak kuliahan Jogja. 

Kemarin FSTVLST manggung di acaranya Super Accounting Program! Acaranya anak Akuntansi UII. Apresiasi juga buat anak Akuntansi UII berani ngundang FSTVLST. Biasanya kalau UII pasarnya itu Pamungkas, Kunto Aji, Tulus, dan lain-lain yang sejenis. 

Kehadiran FSTVLST di panggung malam itu layaknya oase di tengah terseoknya industri kreatif dua tahun belakangan. Tetapi syukur, seiring masifnya vaksinasi, keadaan sudah mulai pulih. Alhamdulillah terhitung per Desember ini sudah ada beberapa musisi yang 'nekat' menggelar konser offline -walaupun FSTVLST belum mengadakannya. 

Syukurnya lagi kita sudah hidup di abad 21. Digitalisasi masif terjadi di mana-mana hingga konser musik pun bisa diadakan di dalam jaringan. Memang sebenarnya terobosan manggung online ini lebih memperluas jangkauan penonton. Namun ada hal paling penting yang tidak dapat tergantikan, yakni suasana. Terlebih FSTVLST (menurut saya) juga menawarkan itu (suasana). Rasanya value FSTVLST mengenai kesetaraan, masyarakat yang guyub dan setara, tidak tersampaikan secara maksimal melalui konser online. Biasanya membaur dengan siapapun, kini cuma nonton dari layar masing-masing. Cuma bisa menganggukkan kepala, mungkin ada juga yang mukul-mukul meja. 

Tetapi tidak mengapa, ketimbang konser offline engko mah keno covid. Karena nonton FSTVLST tidak bisa dinikmati sambil duduk dan jaga jarak. Kenapa begitu? Karena FLKTVLST yang manggung aja orang-orang tetep moshing. Tapi aku sok tahu banget nggak, sih? Kita Festivalist pasti bisa kok duduk anteng dan prokes demi nonton FSTVLST offline

Manggung malam itu merupakan panggung online pertama FSTVLST yang saya tonton. Seketika memutar kembali memori 2019 saat saya nyaris tidak pernah absen kalau FSTVLST manggung di Jogja. Rupanya itu tidak hanya dirasakan oleh saya, kolom komentar penuh dengan kalimat yang sama dari 300+ penonton, kurang lebih tajuknya "kangen, kapan ya bisa offline?" FSTVLST berhasil mengajak kita berkomunikasi melalui pembawaan Farid Stevy yang menyenangkan seperti biasanya. 

Playlist yang diputar diambil dari kombinasi albumnya, Hits Kitsch dan Fstvlst II. Nampaknya FSTVLST perlu memasarkan lagi albumnya yang II. Sebab euforianya kurang *ugh* jika dibandingkan dengan Satu Terbela Selalu, lagu yang dipakai untuk membuka panggung. 

Sebenarnya ini membingungkan, antara kita yang masih belum terbiasa dengan beberapa lagunya karena kurang promosi, atau FSTVLST aja yang kurang latihan. Tetapi itu minor aja, tidak usah diambil pikiran secara berlebihan. 

Setiap FSTVLST manggung selalu membawa atmosfer yang unik. Saking uniknya, saya pribadi sampai bingung harus berekspresi seperti apa di panggung semalam. Sempat menangis terharu sebab akhirnya bisa nonton FSTVLST lagi. Sempat juga sedih bertanya-tanya kapan bisa nonton FSTVLST lagi? Sempat tertawa juga membaca kolom komentar yang ribut mencari jodoh virtual. 

Membicarakan FSTVLST pasti juga membicarakan penggemarnya. Antusiasme panggung malam itu cukup besar. Mereka mengekspresikan diri dengan menanggapi jokes-nya Farid Stevy. Saling membalas komentar dengan penonton lainnya yang saya yakin mereka tidak saling mengenal. Banyak pula komentar random yang mengundang tawa. 

Panggung ini tepat sekali diadakan di hari Minggu malam. Waktu bagi kita mengisi daya untuk seminggu ke depan. Terima kasih, FSTVLST, sudah meluangkan waktu untuk menghibur kami! Musikmu menjadi sumber energi bagi banyak orang.