Hari
pertama penugasanku di Kampung Menarbu, Distrik Roon, Teluk Wondama, Papua
Barat disambut dengan pertanyaan “Ibu guru, Indonesia itu di mana, kah?” Pertanyaan
ini sederhana. Mudah saja dijawab bahwa Indonesia terbentang dari Sabang sampai
Merauke: Menarbu jelas ada di dalamnya. Menarbu termasuk di dalam Indonesia.
Tapi jawaban itu tidak menjawab pertanyaan tadi secara ideal. Nilai itu sama
sekali bukanlah yang aku pegang dan aku imani bahwa Indonesia hanya sebatas
wilayah geografis. Menurutku Indonesia adalah identitas yang harus disadari
secara sukarela.
Menarbu
adalah kampung kecil yang berada di balik sisi Pulau Roon. Kampung ini hanya
bisa diakses dengan perahu milik warga selama 3 jam dari pusat kabupaten. Tidak
ada transportasi umum membuat aksesnya cukup sulit. Pertama kali berangkat ke kampung
aku sama sekali tidak menyangka bahwa di lautan luas yang tidak terlihat
ujungnya ini ada sebuah kampung yang menghadap langsung ke Teluk Cendrawasih:
rute kapal domestik dari Makassar menuju Jayapura.
Pemukiman
di Menarbu semuanya menghadap ke laut dengan rumah panggung yang berjajar
teratur. Kampung ini membelakangi bukit yang dimanfaatkan masyarakat untuk
berkebun. Sehari-hari Menarbu hanya dialiri listrik pada pukul 18.00 – 24.00.
Tidak ada kios di sini. Untuk kebutuhan sehari-hari masyarakat memanfaatkan
seluruhnya pada hasil alam. Penduduknya hampir seluruhnya adalah masyarakat
asli Papua. Hanya 1 orang saja pendatang dari Manado yang sudah menetap di
Menarbu selama 20 tahun lebih.
Kembali pada pertanyaan “Ibu guru, Indonesia itu di mana, kah?” Selama ini ternyata anak-anak di Menarbu sering mendengar kata “Indonesia” tetapi banyak dari mereka tidak tahu apa itu “Indonesia”. Tentu ini bukanlah kesalahan mereka. Bukan pula kesalahan orang tuanya. Bukan juga kesalahan guru yang pernah mengajarnya. Ketidaktahuan itu bukan sebuah kesalahan. Tetapi, meskipun begitu, ternyata kita mesti perlu banyak berbenah.
Aku
putuskan membuka kelas pertamaku pada malam itu dengan gambar peta Indonesia. Aku
berusaha membuat belajar malam itu menjadi pengalaman yang menarik untuk
mereka. Tentu aku tidak menjelaskan definisi negara menurut Max Weber sebagai
hasil interaksi dari bla bla bla. Atau menurut Aristoteles bahwa negara terbentuk
karena perkumpulan dari desa yang bla bla bla. Malam itu aku menjelaskan
Indonesia sebagai identitas. Bahwa kita adalah Indonesia. Bahwa Papua adalah
Indonesia. Akupun mengesampingkan egoisme terkait bagaimana selama ini aku
turut kecewa atas peminggiran yang banyak diterima oleh masyarakat Papua di
barat sana. Aku membawa dongeng-dongeng indah mengenai keberagaman dan rasa
toleransi yang tinggi di Indonesia. Tentang bagaimana toleransi antar agama
yang damai. Tentang bagaimana saudara mereka umat Nasrani yang tenang beribadah
di gereja. Tentang penerimaan atas mahasiwa Papua yang ada di Jawa. Dan banyak dongeng
lainnya lagi. Secara tidak sadar aku sedang mempresentasikan tentang bagaimana
Indonesia yang ada di kepalaku kepada anak-anak yang sedang menerka-nerka
seperti apa kehidupan yang ada di luar pulau yang amat mereka cintai ini: Papua.
Selama
ini dengan melihat realitas tentang banyaknya ketidakadilan yang terjadi dan
ketimpangan yang seakan dibangun, tak ada sedikitpun rasa kecintaanku terhadap
Indonesia. Tetapi di Menarbu cinta Indonesia bagiku mulai terdefinisi. Cinta
Indonesia bagiku adalah mencintai masyarakatnya. Mencintai kehidupan mereka. Mencintai
keberagaman yang banyak memberiku pelajaran. Ini semua kembali kepada kesadaran
untuk mau berbuat sesuatu terhadap mereka yang berada di tempat paling jauh.
Suaranya memang paling senyap dan cahayanya memang yang paling redup. Tapi mereka
tetap mengusahakan untuk terus tumbuh dengan banyak keterbatasan yang
dihadapinya.
Menarbu
hanya salah satu dari banyaknya tempat yang minim akses dari banyak hal.
Mungkin ada banyak anak-anak di tempat lain yang tidak tahu Indonesia itu ada
di mana. Pendidikan adalah lilin yang menerangi setiap sudut yang tidak pernah
kita bayangkan ada kehidupan di dalamnya. Satu-satunya asa yang bisa
diterbangkan untuk mengantarkan anak-anak melihat kehidupan yang ada di luar
sana. Harus lebih banyak lagi lilin-lilin yang dihidupkan untuk menerangi
Indonesia. Pada tempat yang paling dalam sekalipun. Pada tempat yang paling luar
sekalipun. Pada tempat yang paling jauh sekalipun.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar