Setiap orang adalah guru, setiap tempat adalah sekolah. Barangkali tajuk itu cukup untuk menarasikan kegiatan kemarin (4/07). Selayaknya pendidikan yang harus inklusif untuk semuanya, anak-anak di Menarbu juga berhak untuk dapat belajar di tengah banyak hambatan. Termasuk juga adanya sosial dan budaya masyarakat yang terkadang menjadi kendala. Namun, alih-alih menganggap sosial dan budaya sebagai hambatan, sebetulnya guru mampu mengubahnya untuk menjadi peluang yang menarik. Di Menarbu, masyarakat hidup dengan kebiasaan komunal yang cukup erat. Dalam beberapa minggu terakhir ini para orang tua di Menarbu baku bantu dalam membuat villa di Pantai Rowor, yang hasil upahnya dimasukkan ke dalam kas Persekutuan Anak Remaja (PAM), yakni organisasi kepemudaan di Gereja Sion Menarbu. Akhirnya anak-anak di kampung banyak yang bolos sekolah karena ikut orang tuanya bermalam di Pantai Rowor berhari-hari. Mereka akan kembali ke kampung pada hari Sabtu dan Minggu untuk mengikuti ibadah di gereja.
Siang
itu telepon genggamku berbunyi, ada telepon dari Pak Charles, guru di SDN Menarbu
sekaligus bapak piaraku di Menarbu. Ia hanya sekadar menanyakan kabarku yang
sedang berada di Wasior, pusat Kabupaten Teluk Wondama. “Ibu sehat, kah?”
begitu sapanya. Pada perbincangan itu aku juga berbicara dengan mama piaraku,
serta menyapa adik-adik piaraku yang masih kecil dengan suaranya yang amat
menggemaskan. Di tengah perbincangan, muncul ideku untuk membuat Kelas Jauh di
Pantai Rowor. “Bapak, saya mau buka Kelas Jauh di Pantai Rowor. Bagaimana menurut
bapak?” Tak disangka Pak Charles menyambutnya dengan antusias. Sejak saat itu,
semangatku untuk mengadakan kelas di Pantai Rowor juga turut meletup-letup.
Perbincangan
dengan Pak Charles tidak berhenti di situ saja. Aku mencoba membuat banyak orang
untuk ikut andil dalam kelas ini. Aku yang sedang di Wasior mencoba
berkomunikasi dengan Bapak Kepala Kampung Menarbu, Bapak Franky Apomfires. Ia
menyambut baik ide ini. Menurutnya, anak-anak perlu untuk belajar di alam,
mengenal lingkungan sekitar mereka. Dari kegiatan ini aku dapat menggali lebih
jauh mengenai pemaknaan Pendidikan dari Bapak Kampung. Pembicaraan itu kemudian
berlanjut pada keresahanku atas kurangnya dana yang digunakan untuk mendukung kelas
tersebut, aku mengangkat pembahasan mengenai dana pendidikan yang ada di
keuangan kampung. Bapak Kampung menyanggupi untuk menanggung biaya yang
dibutuhkan di kelas. Tak disangka ia melakukan hal yang lebih besar dari itu tanpa aku minta, Bapak
Kampung bahkan membuat para-para (tempat duduk untuk bersantai) di Pantai Rowor
yang dapat digunakan untuk belajar. Bapak Kampung juga membantu untuk
menyebarkan informasi kelas ini kepada masyarakat Menarbu yang membawa anaknya
pergi bekerja di tempat lain.
Aku
ingin membuat lebih banyak lagi orang yang berkontribusi di kelas ini. Aku
mencoba berkomunikasi dengan para Pengasuh Sekolah Minggu yang ada di Gereja
Sion Menarbu. Mereka tertarik ikut berkontribusi di kelas ini. Bersama dengan
Pak Charles, para pengasuh mengkoordinir anak-anak untuk ikut serta pergi ke
Pantai Rowor. Pak Charles meminjam perahu milik salah satu masyarakat.
Kelas
itu akhirnya terwujud berkat kontribusi dari banyak pihak. Teman dari Pengajar
Muda penempatan kampung lain ikut meramaikan kelas tersebut. Juga ada beberapa
rekan masyarakat Wasior yang bekerja di Bandara Teluk Wondama juga ikut meramaikan dan
mendampingi anak-anak. Kelas Alam sore itu berjalan dengan lancar. Anak-anak
semua bergembira. Para pengasuh Sekolah Minggu juga ikut belajar mengenai
metode belajar anak-anak.
Aku
membawa beberapa media belajar tentang literasi dan numerasi. Anak-anak begitu
antusias belajar menggunakan media yang telah kusiapkan. Mereka belajar sambil
bermain di Pantai Rowor dengan semangat. Saat waktu istirahat tiba, kami menyantap
makanan yang telah disiapkan oleh para mama yang bermalam di Pantai Rowor.
Tampak anak-anak yang juga berenang di pantai sembari menunggu kelas
berikutnya.
Dengan
bermodalkan gitar aku mengajak semuanya untuk bernyanyi. Kami belajar
menyanyikan lagu “Laskar Pelangi”.
Menarilah
dan terus tertawa
Walau
dunia tak seindah surga
Bersyukurlah
pada Yang Kuasa
Cinta
kita di dunia
Selamanya
Barangkali
penggalan lirik ini yang menyimpan segala harapanku untuk anak-anak dan masyarakat
Menarbu. Hidup dengan banyak keterbatasan akses bukanlah alasan untuk tidak
dapat berkarya. Banyak hambatan yang ditemui di tengah jalan dapat dilihat dari
sudut pandang yang lebih ramah. Menarbu memiliki modal sosial yang besar. Harus
ada gerakan kolaborasi yang disadur untuk kepentingan pendidikan anak-anak.
Semangat ini yang coba kujaga selama bertugas di Menarbu: Menularkan keberanian
untuk bermimpi kepada anak-anak.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar