Jumat, 25 Agustus 2023

Cuap-cuap Singkat Sepak Bola. Hanya Boleh Dibaca Sembari BAB Saja, ya!

 


        Saya adalah orang yang gemar menonton. Menonton apapun. Festival musik, film, orang mancing, kucing makan, dan lain-lainnya kecuali orang ngupil. Karena saya merasa awkward saja jika orang yang saya lihat sedang mengupil itu tau kalau saya sedang melihatnya ngupil. Baru-baru ini, saya baru tahu bahwa ternyata saya juga gemar nonton pertandingan sepak bola. Terima kasih, PSS Sleman!

    Semua ini terjadi secara tergesa-gesa, tidak lain karena saya kenalan dengan laki-laki Jawa asli Sleman yang sedang berusaha mendekati saya. Karena dia lumayan, ya saya dekati balik saja sekalian. Dia yang membuat sepak bola menjadi indah di mata saya.

     Diberikannya kaos warna hitam dengan tulisan “Laskar Sembada” di dada sebelah kirinya. Saya menerimanya dengan tertawa terbahak-bahak sebab saya menyadari sedang dibujuk untuk ikut nonton pertandingan bola.  Dengan dua tiket tribun merah, akhirnya saya mencoba pengalaman yang sangat asing ini untuk kali pertama dalam hidup saya: menonton sepak bola secara langsung di stadion. Saya masih ingat betul, pertandingan waktu itu adalah PSS Sleman kontra Borneo FC!

        Beberapa waktu sebelum pertandingan, saya mempersiapkan diri dengan cukup baik. Saya belajar apa itu offside. Remeh sekali bukan? Tidak, sangat jelas ini bukan sebuah hal remeh buat saya. Saat itu saya berpikir lebih baik saya memikirkan “jika kebenaran itu relatif maka apakah printing money boleh dilakukan di Indonesa asalkan peredarannya teratur” dari pada harus memahami sepak bola. Jelas ini sangat rumit buat saya. Tetapi karena saya tipikal orang yang selalu berusaha mengapresiasi orang lain, maka saya memiliki keinginan yang besar untuk menyenangkan gebetan saya saat itu dengan mempelajari sepak bola. Agar waktu nonton saya tidak plonga plongo kebanyakan bertanya.

        Sore itu cukup terik, namun beruntungnya panas matahari tidak sampai menggigit. Saya kenakan kaos laskar sembada dengan celana jeans yang harganya cukup mahal buat saya, itu celana terbaik yang saya punya btw. Sampai di stadion segalanya begitu bising. Tapi saya selalu menyukai keramaian. Kami duduk di tribun merah bagian tengah dengan harapan dapat nyaman menonton jalannya pertandingan.

        Ya ampun, ternyata orang-orang nonton bola itu sangat emosional, lho! Saat pemain PSS Sleman gagal menggiring bola dan berhasil di-tackle lawan, semua orang mengumpat asu bajingan bali wae nyukkk. Hahhhh??? Tetapi ketika pemain PSS Sleman berhasil mencetak gol, mereka tertawa dengan gembiranya seakan lupa tadi dia telah mengumpat sebanyak itu. Buatku ini ekspresi yang unik sih. Sebuah relasi yang tidak akan pernah saling menyakiti. Segala caci maki saat permainan didominasi oleh permainan yang jelek, digantikan dengan rasa sayang yang begitu besar hanya karena satu gol.

       Tidak banyak yang saya ketahui tentang sepak bola. Kilas balik saat saya (mungkin) berusia 12 tahun, saya menamatkan buku 11 Patriot milik Andrea Hirata. Bercerita mengenai peminggiran sepak bola dalam negeri yang amat begitu jago melawan sepak bola Belanda. Rupanya ego Belanda bergetar karena tim sepak bolanya kalah terus-terusan. Namun sebenarnya tidak sesederhana menang dan kalah. Sejak dulu, sepak bola erat kaitannya dengan politik. Cabang olah raga yang satu ini selalu berhasil memantik animo masyarakat yang cukup besar. Makanya, kerap dijadikan sebagai alat politik untuk membesarkan nama Belanda. Akhirnya yang terjadi, pemain pribumi yang jago saat itu dipatahkan kakinya hingga tak dapat berlari lagi. Mereka diasingkan, dipinggirkan, tak diberi kesempatan.

        Berbicara tentang bola dan politik sebenarnya cukup menggelitik buat saya pribadi. Sederhana saja, dua hal tersebut merupakan objek yang sangat tidak saya kuasai. Namun melihat betapa pengaruh sepak bola ini sangatlah besar, sepertinya menarik juga untuk diikuti. Di kaca mata saya yang sempit ini, politik adalah segala usaha yang dilakukan untuk mencapai sesuatu. Contoh yang paling baru dan paling mudah untuk diangkat adalah kampanye bendera pelangi pada Piala Dunia 2022 lalu sebagai wujud dukungan anti diskriminasi bagi para kelompok marjinal, yakni LGBT+. Apakah ini efektif? Jujur saya tidak berani menyimpulkan sebab keterbatasan informasi mengenai output apa saja yang berhasil dari kampanye itu.

        Bergeser sedikit di awal tahun ini. Indonesia berkesempatan menjadi tuan rumah Piala Dunia U20. Lagi-lagi ada politik, tuan rumah dapat ikut bermain tanpa adanya seleksi. Namun, berbagai penolakan pun bermunculan sebab beberapa tokoh politik Indonesia cukup santer menolak kehadiran Israel sebagai salah satu peserta. Ini bentuk solidaritas Indonesia terhadap Palestina yang belum merdeka atas Israel, katanya. Dalam kasus ini saya bisa bilang bahwa itu tidak sukses. Kerugian yang ditimbulkan begitu besar. Setelahnya Indonesia dinyatakan batal sebagai tuan rumah. Tim Nasional Indonesia gagal mencicipi bertanding dalam laga internasional. Rugi moral dan materi, lagi-lagi.

        Sebenarnya tidak semudah itu juga, sih. Tidak jelas juga sebenarnya batalnya Indonesia menjadi tuan rumah ini disebabkan karena alasan menolak Israel, atau karena Indonesia belum siap saja menjadi tuan rumah. Kita masih punya banyak PR dalam hal ini. Kemarin 135 itu bukan angka, lho. Sebanyak itu tewas sia-sia karena sepak bola. Hingga kini 135 itu juga belum dapat keadilan. Tidak usah saya jelaskan 135 ini apa, kalian sudah tahu sendiri, kan?

        Tidak menutup kemungkinan kasus di atas bakal menjadi alat politik juga mendekati event terbesar 2024 mendatang. “Pilih saya, maka akan sy tuntaskan keadilan bagi 135 itu” seperti yang sudah-sudah. Menurut saya ini kampanye yang oke sih jika dibandingkan bakar duit triliunan untuk nyap. Ini lahan yang sangat subur lho. Sepak bola selalu menjadi alat diplomatis yang narsis karena animonya sangat besar. Dari generasi ke generasi selalu begitu, dan saya rasa akan selalu begitu.

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar