Saya adalah orang yang gemar menonton. Menonton apapun. Festival musik, film, orang mancing, kucing makan, dan lain-lainnya kecuali orang ngupil. Karena saya merasa awkward saja jika orang yang saya lihat sedang mengupil itu tau kalau saya sedang melihatnya ngupil. Baru-baru ini, saya baru tahu bahwa ternyata saya juga gemar nonton pertandingan sepak bola. Terima kasih, PSS Sleman!
Semua ini terjadi secara tergesa-gesa, tidak lain karena saya kenalan dengan laki-laki Jawa asli Sleman yang sedang berusaha mendekati saya. Karena dia lumayan, ya saya dekati balik saja sekalian. Dia yang membuat sepak bola menjadi indah di mata saya.
Diberikannya kaos warna hitam
dengan tulisan “Laskar Sembada” di dada sebelah kirinya. Saya menerimanya
dengan tertawa terbahak-bahak sebab saya menyadari sedang dibujuk untuk ikut nonton
pertandingan bola. Dengan dua tiket tribun
merah, akhirnya saya mencoba pengalaman yang sangat asing ini untuk kali pertama
dalam hidup saya: menonton sepak bola secara langsung di stadion. Saya masih
ingat betul, pertandingan waktu itu adalah PSS Sleman kontra Borneo FC!
Beberapa waktu sebelum
pertandingan, saya mempersiapkan diri dengan cukup baik. Saya belajar apa itu offside.
Remeh sekali bukan? Tidak, sangat jelas ini bukan sebuah hal remeh buat
saya. Saat itu saya berpikir lebih baik saya memikirkan “jika kebenaran itu relatif
maka apakah printing money boleh dilakukan di Indonesa asalkan peredarannya
teratur” dari pada harus memahami sepak bola. Jelas ini sangat rumit buat saya.
Tetapi karena saya tipikal orang yang selalu berusaha mengapresiasi orang lain,
maka saya memiliki keinginan yang besar untuk menyenangkan gebetan saya saat
itu dengan mempelajari sepak bola. Agar waktu nonton saya tidak plonga plongo
kebanyakan bertanya.
Sore itu cukup terik, namun
beruntungnya panas matahari tidak sampai menggigit. Saya kenakan kaos laskar
sembada dengan celana jeans yang harganya cukup mahal buat saya, itu celana terbaik
yang saya punya btw. Sampai di stadion segalanya begitu bising. Tapi saya selalu
menyukai keramaian. Kami duduk di tribun merah bagian tengah dengan harapan
dapat nyaman menonton jalannya pertandingan.
Ya ampun, ternyata orang-orang
nonton bola itu sangat emosional, lho! Saat pemain PSS Sleman gagal menggiring
bola dan berhasil di-tackle lawan, semua orang mengumpat asu bajingan
bali wae nyukkk. Hahhhh??? Tetapi ketika pemain PSS Sleman berhasil mencetak
gol, mereka tertawa dengan gembiranya seakan lupa tadi dia telah mengumpat
sebanyak itu. Buatku ini ekspresi yang unik sih. Sebuah relasi yang tidak akan
pernah saling menyakiti. Segala caci maki saat permainan didominasi oleh permainan
yang jelek, digantikan dengan rasa sayang yang begitu besar hanya karena satu
gol.
Tidak banyak yang saya ketahui
tentang sepak bola. Kilas balik saat saya (mungkin) berusia 12 tahun, saya
menamatkan buku 11 Patriot milik Andrea Hirata. Bercerita mengenai peminggiran
sepak bola dalam negeri yang amat begitu jago melawan sepak bola Belanda.
Rupanya ego Belanda bergetar karena tim sepak bolanya kalah terus-terusan. Namun
sebenarnya tidak sesederhana menang dan kalah. Sejak dulu, sepak bola erat
kaitannya dengan politik. Cabang olah raga yang satu ini selalu berhasil
memantik animo masyarakat yang cukup besar. Makanya, kerap dijadikan sebagai
alat politik untuk membesarkan nama Belanda. Akhirnya yang terjadi, pemain pribumi
yang jago saat itu dipatahkan kakinya hingga tak dapat berlari lagi. Mereka diasingkan,
dipinggirkan, tak diberi kesempatan.
Berbicara tentang bola dan politik
sebenarnya cukup menggelitik buat saya pribadi. Sederhana saja, dua hal
tersebut merupakan objek yang sangat tidak saya kuasai. Namun melihat betapa
pengaruh sepak bola ini sangatlah besar, sepertinya menarik juga untuk diikuti.
Di kaca mata saya yang sempit ini, politik adalah segala usaha yang dilakukan
untuk mencapai sesuatu. Contoh yang paling baru dan paling mudah untuk diangkat
adalah kampanye bendera pelangi pada Piala Dunia 2022 lalu sebagai wujud dukungan
anti diskriminasi bagi para kelompok marjinal, yakni LGBT+. Apakah ini efektif?
Jujur saya tidak berani menyimpulkan sebab keterbatasan informasi mengenai
output apa saja yang berhasil dari kampanye itu.
Bergeser sedikit di awal tahun
ini. Indonesia berkesempatan menjadi tuan rumah Piala Dunia U20. Lagi-lagi ada
politik, tuan rumah dapat ikut bermain tanpa adanya seleksi. Namun, berbagai penolakan
pun bermunculan sebab beberapa tokoh politik Indonesia cukup santer menolak
kehadiran Israel sebagai salah satu peserta. Ini bentuk solidaritas Indonesia
terhadap Palestina yang belum merdeka atas Israel, katanya. Dalam kasus ini
saya bisa bilang bahwa itu tidak sukses. Kerugian yang ditimbulkan begitu besar.
Setelahnya Indonesia dinyatakan batal sebagai tuan rumah. Tim Nasional Indonesia
gagal mencicipi bertanding dalam laga internasional. Rugi moral dan materi,
lagi-lagi.
Sebenarnya tidak semudah itu juga,
sih. Tidak jelas juga sebenarnya batalnya Indonesia menjadi tuan rumah ini disebabkan
karena alasan menolak Israel, atau karena Indonesia belum siap saja menjadi tuan
rumah. Kita masih punya banyak PR dalam hal ini. Kemarin 135 itu bukan angka,
lho. Sebanyak itu tewas sia-sia karena sepak bola. Hingga kini 135 itu juga
belum dapat keadilan. Tidak usah saya jelaskan 135 ini apa, kalian sudah tahu
sendiri, kan?
Tidak menutup kemungkinan kasus
di atas bakal menjadi alat politik juga mendekati event terbesar 2024
mendatang. “Pilih saya, maka akan sy tuntaskan keadilan bagi 135 itu” seperti yang
sudah-sudah. Menurut saya ini kampanye yang oke sih jika dibandingkan bakar
duit triliunan untuk nyap. Ini lahan yang sangat subur lho. Sepak bola selalu
menjadi alat diplomatis yang narsis karena animonya sangat besar. Dari generasi
ke generasi selalu begitu, dan saya rasa akan selalu begitu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar