Minggu, 28 April 2024

Ibu Guru, Indonesia Itu di Mana, Kah?

 




Hari pertama penugasanku di Kampung Menarbu, Distrik Roon, Teluk Wondama, Papua Barat disambut dengan pertanyaan “Ibu guru, Indonesia itu di mana, kah?” Pertanyaan ini sederhana. Mudah saja dijawab bahwa Indonesia terbentang dari Sabang sampai Merauke: Menarbu jelas ada di dalamnya. Menarbu termasuk di dalam Indonesia. Tapi jawaban itu tidak menjawab pertanyaan tadi secara ideal. Nilai itu sama sekali bukanlah yang aku pegang dan aku imani bahwa Indonesia hanya sebatas wilayah geografis. Menurutku Indonesia adalah identitas yang harus disadari secara sukarela.

Menarbu adalah kampung kecil yang berada di balik sisi Pulau Roon. Kampung ini hanya bisa diakses dengan perahu milik warga selama 3 jam dari pusat kabupaten. Tidak ada transportasi umum membuat aksesnya cukup sulit. Pertama kali berangkat ke kampung aku sama sekali tidak menyangka bahwa di lautan luas yang tidak terlihat ujungnya ini ada sebuah kampung yang menghadap langsung ke Teluk Cendrawasih: rute kapal domestik dari Makassar menuju Jayapura.

Pemukiman di Menarbu semuanya menghadap ke laut dengan rumah panggung yang berjajar teratur. Kampung ini membelakangi bukit yang dimanfaatkan masyarakat untuk berkebun. Sehari-hari Menarbu hanya dialiri listrik pada pukul 18.00 – 24.00. Tidak ada kios di sini. Untuk kebutuhan sehari-hari masyarakat memanfaatkan seluruhnya pada hasil alam. Penduduknya hampir seluruhnya adalah masyarakat asli Papua. Hanya 1 orang saja pendatang dari Manado yang sudah menetap di Menarbu selama 20 tahun lebih.

Kembali pada pertanyaan “Ibu guru, Indonesia itu di mana, kah?” Selama ini ternyata anak-anak di Menarbu sering mendengar kata “Indonesia” tetapi banyak dari mereka tidak tahu apa itu “Indonesia”. Tentu ini bukanlah kesalahan mereka. Bukan pula kesalahan orang tuanya. Bukan juga kesalahan guru yang pernah mengajarnya. Ketidaktahuan itu bukan sebuah kesalahan. Tetapi, meskipun begitu, ternyata kita mesti perlu banyak berbenah.

Aku putuskan membuka kelas pertamaku pada malam itu dengan gambar peta Indonesia. Aku berusaha membuat belajar malam itu menjadi pengalaman yang menarik untuk mereka. Tentu aku tidak menjelaskan definisi negara menurut Max Weber sebagai hasil interaksi dari bla bla bla. Atau menurut Aristoteles bahwa negara terbentuk karena perkumpulan dari desa yang bla bla bla. Malam itu aku menjelaskan Indonesia sebagai identitas. Bahwa kita adalah Indonesia. Bahwa Papua adalah Indonesia. Akupun mengesampingkan egoisme terkait bagaimana selama ini aku turut kecewa atas peminggiran yang banyak diterima oleh masyarakat Papua di barat sana. Aku membawa dongeng-dongeng indah mengenai keberagaman dan rasa toleransi yang tinggi di Indonesia. Tentang bagaimana toleransi antar agama yang damai. Tentang bagaimana saudara mereka umat Nasrani yang tenang beribadah di gereja. Tentang penerimaan atas mahasiwa Papua yang ada di Jawa. Dan banyak dongeng lainnya lagi. Secara tidak sadar aku sedang mempresentasikan tentang bagaimana Indonesia yang ada di kepalaku kepada anak-anak yang sedang menerka-nerka seperti apa kehidupan yang ada di luar pulau yang amat mereka cintai ini: Papua.

Selama ini dengan melihat realitas tentang banyaknya ketidakadilan yang terjadi dan ketimpangan yang seakan dibangun, tak ada sedikitpun rasa kecintaanku terhadap Indonesia. Tetapi di Menarbu cinta Indonesia bagiku mulai terdefinisi. Cinta Indonesia bagiku adalah mencintai masyarakatnya. Mencintai kehidupan mereka. Mencintai keberagaman yang banyak memberiku pelajaran. Ini semua kembali kepada kesadaran untuk mau berbuat sesuatu terhadap mereka yang berada di tempat paling jauh. Suaranya memang paling senyap dan cahayanya memang yang paling redup. Tapi mereka tetap mengusahakan untuk terus tumbuh dengan banyak keterbatasan yang dihadapinya.

Menarbu hanya salah satu dari banyaknya tempat yang minim akses dari banyak hal. Mungkin ada banyak anak-anak di tempat lain yang tidak tahu Indonesia itu ada di mana. Pendidikan adalah lilin yang menerangi setiap sudut yang tidak pernah kita bayangkan ada kehidupan di dalamnya. Satu-satunya asa yang bisa diterbangkan untuk mengantarkan anak-anak melihat kehidupan yang ada di luar sana. Harus lebih banyak lagi lilin-lilin yang dihidupkan untuk menerangi Indonesia. Pada tempat yang paling dalam sekalipun. Pada tempat yang paling luar sekalipun. Pada tempat yang paling jauh sekalipun.