Jumat, 25 Agustus 2023

Keluh Kesah Event Era Dikit-dikit Cancel



Bagi orang yang suka datang ke festival musik, kejadian akhir-akhir ini memang bikin trust issue. Event postponed dan canceled ada di mana mana. Beruntungnya saya tidak pernah jadi korbannya. Bukan karena apa, kebetulan saja saat mereka menjual tiket, saya sedang tidak ada duit. Ya ada sih, tapi tidak diprioritaskan untuk hal-hal kesenangan selama 5 jam saja. Alhamdulillah.

Kenapa bisa begitu, ya? Festivalan tentu sudah ada jauh sebelum corontol. Tapi kenapa ketika demand anak skena tinggi untuk festivalan justru event-nya malah nggak serius. 


Mungkin ini bisa dijelaskan sedikit dengan teori permintaan dan penawaran. Permintaan akan festival naik drastis pasca corontol. Sisi penawaran meresponnya dengan menambah jumlah penawaran untuk meraih untung sebanyak-banyaknya.


Harga tiket festivalan pasca corontol dirasa-rasa memang lebih mahal. Memang benar kata Aldi Taher, semua orang di dunia ini bingung, nanti nggak bingung kalau sudah di surga. Ini wajar saja. Permintaan yang tinggi akan festivalan setelah 3 tahun diam di rumah gara-gara corontol membuat harga tiketnya jadi mahal. Ya itu sah-sah saja. Memang begitu cara dunia bekerja.


Promotor meresponnya dengan membuat penawaran yang semakin menarik: jumlah musisinya banyak. Musisi juga menyadari bahwa animonya tinggi maka memberikan penawaran yang lebih kreatif dari sebelumnya.


Di sini mungkin letaknya. Hasrat mengambil untung yang besar atas lonjakan permintaan membuat promotor kalap. Aneh-aneh saja idenya. Misal menggabungkan musisi dengan genre yang sangat berbeda. Ada salah satu event yang menggabungkan The Panturas, FSTVLST, Nadin Amizah, Pamungkas, dan satu musisi pop kenamaan lain yang otak mungilku ini lupa dia siapa. Ya jelas saja, penikmat Panturas dan FSTVLST akan berpikir ulang untuk membeli tiket karena merasa rugi. Mengeluarkan budget untuk 5 musisi, namun hanya menikmati 2 saja. Begitupun sebaliknya. Penikmat Nadin Amizah tentu tidak tahu siapa itu FSTVLST. Benar saja, salah satu komentar yang saya temukan kira-kira begini. “Cuma tahu Nadin dan Pamungkas aja. Rugi beli tiketnya, mahal.” Sebagai pendengar FSTVLST saya sakit hati dikit sih, tapi ya sudah lah. Saya sering merasakan sakit hati yang lebih hebat dari pada ini.


Lalu apa, ya tiketnya nggak laku! Acaranya canceled! Diminta refund ngang ngong ngang ngong. Surplus konsumennya kecil. Bisnis apapun yang bertahan di pasar adalah mereka yang mampu memberikan surplus konsumen paling besar. Apa panitianya nggak mikir sampai sana, ya? Banyak musisinya, tapi gagal memberikan surplus yang besar.


Segala sesuatu yang dipostponed atau canceled saya berani taruhan mayoritas pasti perkara duit. Duit dibawa kabur sehingga tidak bisa bayar vendor. Perencanaan yang kurang matang sehingga saat duitnya dibutuhkan justru duitnya belum ada. Hal seperti ini memang lumrah saja terjadi. Atau bisa saja saya yang sok tahu. Karena saya hanya penikmat. Bukan orang yang bekerja di dalamnya secara langsung.


Para promotor bajingan ini berdosa besar terhadap industri musik Indonesia. Saya rasa, tidak hanya saya yang trust issue di sini. Kepercayaan terhadap festival musik menjadi turun. Akhirnya, promotor yang memang niat berbisnis jadi kena imbasnya: konsumennya turun. Kalaupun tidak turun, banyak dari mereka yang lebih memilih beli tiket on the spot saat hari H acara untuk mengantisipasi acara batal / mundur. Lha ini juga merugikan. Seharusnya promotor dapat pendapatan dari pre sale sebelum acara berlangsung untuk bayar vendor atau artis. Tapi karena duitnya ada di belakang, ya mereka lagi-lagi kesusahan untuk ini. 


Ini bukan hal sepele lho. Kepercayaan konsumen itu seharusnya dijaga bersama-sama di komunitas ini. Industri kreatif itu sulit. Untuk hidup dari industri ini pun juga sulit. Mung promotor kuwi mau sek silittt. 


Apresiasi setinggi-tingginya bagi promotor manapun yang berhasil menggelar event sesuai dengan penawaran awal ke konsumen. Industri ini perlu dihidupkan secara masif lagi untuk keberlanjutan banyak orang. Sebagai sumber nafkah dari banyak keluarga. Juga salah satu sumber pendapatan bagi negara. Yang tidak terima negara boleh ambil bagian silakan pindah negara saja. Atau bikin negara sendiri mah wangun. Aku bagian nyebarin propaganda saja.


Kontribusi industri musik terhadap PDB di tahun 2022 lalu diproyeksikan nilainya 7 triliun. Ini angka yang besar buat ukuran negara seperti Indonesia. Tentu tidak ada apa-apanya jika dibandingkan dengan Korea Selatan. Pemerintah Korea Selatan berinvestasi sangat besar di industri musiknya. Wajar kalau return-nya besar. Kalau di sini, ya ada sih investasinya, tapi rupanya masih difokuskan pada sektor lain yang dirasa paling mendesak, misalnya pindah ibu kota. Ibarat kata, industri musik belum begitu seksi untuk dijadikan produk unggulan di negara ini.


Sejujurnya saya tidak tahu menahu mengenai apakah pemerintah turut berinvestasi di sektor industri musik Indonesia. Tetapi, mungkin bisa ambil bagian dalam mengatasi tindakan promotor silit yang sudah dibahas di awal melalui Menparekraf. Pendengar musik juga konsumen. Sama pentingnya dengan konsumen FMCG, nikel, kelapa sawit, dan industri seksi lainnya di negeri ini.


Kreativitas saja tidak cukup untuk menyuburkan iklim industri musik. Musisi juga butuh makan meskipun masing-masing dari mereka memiliki idealismenya sendiri tentang pemaknaan musik. Ambil untung saja dari industri ini tanpa memperhatikan pelakunya sama saja riba.


Indonesia sangat punya potensi kok untuk menyuburkan industri kreatif. Karena survei bohongan membuktikan 88% pemuda Indonesia itu kena mental illness. Kita semua butuh healing. Pasar sudah ada. Tinggal info festival yang trusted no tipu tipu.

Cuap-cuap Singkat Sepak Bola. Hanya Boleh Dibaca Sembari BAB Saja, ya!

 


        Saya adalah orang yang gemar menonton. Menonton apapun. Festival musik, film, orang mancing, kucing makan, dan lain-lainnya kecuali orang ngupil. Karena saya merasa awkward saja jika orang yang saya lihat sedang mengupil itu tau kalau saya sedang melihatnya ngupil. Baru-baru ini, saya baru tahu bahwa ternyata saya juga gemar nonton pertandingan sepak bola. Terima kasih, PSS Sleman!

    Semua ini terjadi secara tergesa-gesa, tidak lain karena saya kenalan dengan laki-laki Jawa asli Sleman yang sedang berusaha mendekati saya. Karena dia lumayan, ya saya dekati balik saja sekalian. Dia yang membuat sepak bola menjadi indah di mata saya.

     Diberikannya kaos warna hitam dengan tulisan “Laskar Sembada” di dada sebelah kirinya. Saya menerimanya dengan tertawa terbahak-bahak sebab saya menyadari sedang dibujuk untuk ikut nonton pertandingan bola.  Dengan dua tiket tribun merah, akhirnya saya mencoba pengalaman yang sangat asing ini untuk kali pertama dalam hidup saya: menonton sepak bola secara langsung di stadion. Saya masih ingat betul, pertandingan waktu itu adalah PSS Sleman kontra Borneo FC!

        Beberapa waktu sebelum pertandingan, saya mempersiapkan diri dengan cukup baik. Saya belajar apa itu offside. Remeh sekali bukan? Tidak, sangat jelas ini bukan sebuah hal remeh buat saya. Saat itu saya berpikir lebih baik saya memikirkan “jika kebenaran itu relatif maka apakah printing money boleh dilakukan di Indonesa asalkan peredarannya teratur” dari pada harus memahami sepak bola. Jelas ini sangat rumit buat saya. Tetapi karena saya tipikal orang yang selalu berusaha mengapresiasi orang lain, maka saya memiliki keinginan yang besar untuk menyenangkan gebetan saya saat itu dengan mempelajari sepak bola. Agar waktu nonton saya tidak plonga plongo kebanyakan bertanya.

        Sore itu cukup terik, namun beruntungnya panas matahari tidak sampai menggigit. Saya kenakan kaos laskar sembada dengan celana jeans yang harganya cukup mahal buat saya, itu celana terbaik yang saya punya btw. Sampai di stadion segalanya begitu bising. Tapi saya selalu menyukai keramaian. Kami duduk di tribun merah bagian tengah dengan harapan dapat nyaman menonton jalannya pertandingan.

        Ya ampun, ternyata orang-orang nonton bola itu sangat emosional, lho! Saat pemain PSS Sleman gagal menggiring bola dan berhasil di-tackle lawan, semua orang mengumpat asu bajingan bali wae nyukkk. Hahhhh??? Tetapi ketika pemain PSS Sleman berhasil mencetak gol, mereka tertawa dengan gembiranya seakan lupa tadi dia telah mengumpat sebanyak itu. Buatku ini ekspresi yang unik sih. Sebuah relasi yang tidak akan pernah saling menyakiti. Segala caci maki saat permainan didominasi oleh permainan yang jelek, digantikan dengan rasa sayang yang begitu besar hanya karena satu gol.

       Tidak banyak yang saya ketahui tentang sepak bola. Kilas balik saat saya (mungkin) berusia 12 tahun, saya menamatkan buku 11 Patriot milik Andrea Hirata. Bercerita mengenai peminggiran sepak bola dalam negeri yang amat begitu jago melawan sepak bola Belanda. Rupanya ego Belanda bergetar karena tim sepak bolanya kalah terus-terusan. Namun sebenarnya tidak sesederhana menang dan kalah. Sejak dulu, sepak bola erat kaitannya dengan politik. Cabang olah raga yang satu ini selalu berhasil memantik animo masyarakat yang cukup besar. Makanya, kerap dijadikan sebagai alat politik untuk membesarkan nama Belanda. Akhirnya yang terjadi, pemain pribumi yang jago saat itu dipatahkan kakinya hingga tak dapat berlari lagi. Mereka diasingkan, dipinggirkan, tak diberi kesempatan.

        Berbicara tentang bola dan politik sebenarnya cukup menggelitik buat saya pribadi. Sederhana saja, dua hal tersebut merupakan objek yang sangat tidak saya kuasai. Namun melihat betapa pengaruh sepak bola ini sangatlah besar, sepertinya menarik juga untuk diikuti. Di kaca mata saya yang sempit ini, politik adalah segala usaha yang dilakukan untuk mencapai sesuatu. Contoh yang paling baru dan paling mudah untuk diangkat adalah kampanye bendera pelangi pada Piala Dunia 2022 lalu sebagai wujud dukungan anti diskriminasi bagi para kelompok marjinal, yakni LGBT+. Apakah ini efektif? Jujur saya tidak berani menyimpulkan sebab keterbatasan informasi mengenai output apa saja yang berhasil dari kampanye itu.

        Bergeser sedikit di awal tahun ini. Indonesia berkesempatan menjadi tuan rumah Piala Dunia U20. Lagi-lagi ada politik, tuan rumah dapat ikut bermain tanpa adanya seleksi. Namun, berbagai penolakan pun bermunculan sebab beberapa tokoh politik Indonesia cukup santer menolak kehadiran Israel sebagai salah satu peserta. Ini bentuk solidaritas Indonesia terhadap Palestina yang belum merdeka atas Israel, katanya. Dalam kasus ini saya bisa bilang bahwa itu tidak sukses. Kerugian yang ditimbulkan begitu besar. Setelahnya Indonesia dinyatakan batal sebagai tuan rumah. Tim Nasional Indonesia gagal mencicipi bertanding dalam laga internasional. Rugi moral dan materi, lagi-lagi.

        Sebenarnya tidak semudah itu juga, sih. Tidak jelas juga sebenarnya batalnya Indonesia menjadi tuan rumah ini disebabkan karena alasan menolak Israel, atau karena Indonesia belum siap saja menjadi tuan rumah. Kita masih punya banyak PR dalam hal ini. Kemarin 135 itu bukan angka, lho. Sebanyak itu tewas sia-sia karena sepak bola. Hingga kini 135 itu juga belum dapat keadilan. Tidak usah saya jelaskan 135 ini apa, kalian sudah tahu sendiri, kan?

        Tidak menutup kemungkinan kasus di atas bakal menjadi alat politik juga mendekati event terbesar 2024 mendatang. “Pilih saya, maka akan sy tuntaskan keadilan bagi 135 itu” seperti yang sudah-sudah. Menurut saya ini kampanye yang oke sih jika dibandingkan bakar duit triliunan untuk nyap. Ini lahan yang sangat subur lho. Sepak bola selalu menjadi alat diplomatis yang narsis karena animonya sangat besar. Dari generasi ke generasi selalu begitu, dan saya rasa akan selalu begitu.