Bagi orang yang suka datang ke festival musik, kejadian akhir-akhir ini memang bikin trust issue. Event postponed dan canceled ada di mana mana. Beruntungnya saya tidak pernah jadi korbannya. Bukan karena apa, kebetulan saja saat mereka menjual tiket, saya sedang tidak ada duit. Ya ada sih, tapi tidak diprioritaskan untuk hal-hal kesenangan selama 5 jam saja. Alhamdulillah.
Kenapa bisa begitu, ya? Festivalan tentu sudah ada jauh sebelum corontol. Tapi kenapa ketika demand anak skena tinggi untuk festivalan justru event-nya malah nggak serius.
Mungkin ini bisa dijelaskan sedikit dengan teori permintaan dan penawaran. Permintaan akan festival naik drastis pasca corontol. Sisi penawaran meresponnya dengan menambah jumlah penawaran untuk meraih untung sebanyak-banyaknya.
Harga tiket festivalan pasca corontol dirasa-rasa memang lebih mahal. Memang benar kata Aldi Taher, semua orang di dunia ini bingung, nanti nggak bingung kalau sudah di surga. Ini wajar saja. Permintaan yang tinggi akan festivalan setelah 3 tahun diam di rumah gara-gara corontol membuat harga tiketnya jadi mahal. Ya itu sah-sah saja. Memang begitu cara dunia bekerja.
Promotor meresponnya dengan membuat penawaran yang semakin menarik: jumlah musisinya banyak. Musisi juga menyadari bahwa animonya tinggi maka memberikan penawaran yang lebih kreatif dari sebelumnya.
Di sini mungkin letaknya. Hasrat mengambil untung yang besar atas lonjakan permintaan membuat promotor kalap. Aneh-aneh saja idenya. Misal menggabungkan musisi dengan genre yang sangat berbeda. Ada salah satu event yang menggabungkan The Panturas, FSTVLST, Nadin Amizah, Pamungkas, dan satu musisi pop kenamaan lain yang otak mungilku ini lupa dia siapa. Ya jelas saja, penikmat Panturas dan FSTVLST akan berpikir ulang untuk membeli tiket karena merasa rugi. Mengeluarkan budget untuk 5 musisi, namun hanya menikmati 2 saja. Begitupun sebaliknya. Penikmat Nadin Amizah tentu tidak tahu siapa itu FSTVLST. Benar saja, salah satu komentar yang saya temukan kira-kira begini. “Cuma tahu Nadin dan Pamungkas aja. Rugi beli tiketnya, mahal.” Sebagai pendengar FSTVLST saya sakit hati dikit sih, tapi ya sudah lah. Saya sering merasakan sakit hati yang lebih hebat dari pada ini.
Lalu apa, ya tiketnya nggak laku! Acaranya canceled! Diminta refund ngang ngong ngang ngong. Surplus konsumennya kecil. Bisnis apapun yang bertahan di pasar adalah mereka yang mampu memberikan surplus konsumen paling besar. Apa panitianya nggak mikir sampai sana, ya? Banyak musisinya, tapi gagal memberikan surplus yang besar.
Segala sesuatu yang dipostponed atau canceled saya berani taruhan mayoritas pasti perkara duit. Duit dibawa kabur sehingga tidak bisa bayar vendor. Perencanaan yang kurang matang sehingga saat duitnya dibutuhkan justru duitnya belum ada. Hal seperti ini memang lumrah saja terjadi. Atau bisa saja saya yang sok tahu. Karena saya hanya penikmat. Bukan orang yang bekerja di dalamnya secara langsung.
Para promotor bajingan ini berdosa besar terhadap industri musik Indonesia. Saya rasa, tidak hanya saya yang trust issue di sini. Kepercayaan terhadap festival musik menjadi turun. Akhirnya, promotor yang memang niat berbisnis jadi kena imbasnya: konsumennya turun. Kalaupun tidak turun, banyak dari mereka yang lebih memilih beli tiket on the spot saat hari H acara untuk mengantisipasi acara batal / mundur. Lha ini juga merugikan. Seharusnya promotor dapat pendapatan dari pre sale sebelum acara berlangsung untuk bayar vendor atau artis. Tapi karena duitnya ada di belakang, ya mereka lagi-lagi kesusahan untuk ini.
Ini bukan hal sepele lho. Kepercayaan konsumen itu seharusnya dijaga bersama-sama di komunitas ini. Industri kreatif itu sulit. Untuk hidup dari industri ini pun juga sulit. Mung promotor kuwi mau sek silittt.
Apresiasi setinggi-tingginya bagi promotor manapun yang berhasil menggelar event sesuai dengan penawaran awal ke konsumen. Industri ini perlu dihidupkan secara masif lagi untuk keberlanjutan banyak orang. Sebagai sumber nafkah dari banyak keluarga. Juga salah satu sumber pendapatan bagi negara. Yang tidak terima negara boleh ambil bagian silakan pindah negara saja. Atau bikin negara sendiri mah wangun. Aku bagian nyebarin propaganda saja.
Kontribusi industri musik terhadap PDB di tahun 2022 lalu diproyeksikan nilainya 7 triliun. Ini angka yang besar buat ukuran negara seperti Indonesia. Tentu tidak ada apa-apanya jika dibandingkan dengan Korea Selatan. Pemerintah Korea Selatan berinvestasi sangat besar di industri musiknya. Wajar kalau return-nya besar. Kalau di sini, ya ada sih investasinya, tapi rupanya masih difokuskan pada sektor lain yang dirasa paling mendesak, misalnya pindah ibu kota. Ibarat kata, industri musik belum begitu seksi untuk dijadikan produk unggulan di negara ini.
Sejujurnya saya tidak tahu menahu mengenai apakah pemerintah turut berinvestasi di sektor industri musik Indonesia. Tetapi, mungkin bisa ambil bagian dalam mengatasi tindakan promotor silit yang sudah dibahas di awal melalui Menparekraf. Pendengar musik juga konsumen. Sama pentingnya dengan konsumen FMCG, nikel, kelapa sawit, dan industri seksi lainnya di negeri ini.
Kreativitas saja tidak cukup untuk menyuburkan iklim industri musik. Musisi juga butuh makan meskipun masing-masing dari mereka memiliki idealismenya sendiri tentang pemaknaan musik. Ambil untung saja dari industri ini tanpa memperhatikan pelakunya sama saja riba.
Indonesia sangat punya potensi kok untuk menyuburkan industri kreatif. Karena survei bohongan membuktikan 88% pemuda Indonesia itu kena mental illness. Kita semua butuh healing. Pasar sudah ada. Tinggal info festival yang trusted no tipu tipu.