Tingginya jumlah penduduk di Indonesia perlu dibarengi dengan penyediaan pangan yang mendukung. Hal itu menjadikan pertanian begitu vital bagi Indonesia. Menyandang gelar sebagai negara agraris, rasionalnya konsentrasi pembangunan diarahkan dalam upaya pengelolaan sumber daya alam yang berpusat dalam bidang pertanian dan perkebunan. Persoalan mengemuka apakah status sebagai negara agraris masih tetap layak untuk Indonesia?
Berbagai upaya telah dilakukan untuk mengembangkan dan membuat kebijakan yang relevan demi memajukan pertanian, utamanya beras. Pada masa pemerintahan Presiden Soeharto, pemerintah telah mencanangkan Rencana Pembangunan Lima Tahun (Repelita), di mana swasembada pangan merupakan fokus utamanya. Perubahan pola tanam terjadi pada saat itu, tahun 1969 Indonesia produksi beras nasional sekitar 12,2 juta ton, sementara pada 1984 bisa mencapai 25,8 juta ton. Rentang waktu yang pendek untuk mengubah produksi dari impor menjadi swasembada.
Pada masa reformasi, Repelita berganti wujud menjadi Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN). Pemerintah belum bergeser untuk tetap berupaya menyediakan ketahanan pangan. Sayangnya perubahan politik dan perekonomian global mengubah capaian yang ditetapkan meleset dari perencanaan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN). Kebutuhan pangan sering didominasi melalui impor. Masalah ini didukung oleh terus berkurangnya lahan pertanian.
Di samping menurunnya lahan pertanian, persoalan yang kini tengah dihadapi adalah menurunnya minat masyarakat untuk bertani, utamanya para pemuda. Sawah saat ini umumnya dipegang oleh pekerja usia tidak produktif (lanjut usia). Para usia muda yang memilih untuk mengurus sawah tergolong langka bahkan nyaris tidak ada. Kalaupun ada, umumnya mereka yang tidak terdidik baik atau karena keterpaksaan.
Stereotip yang berkembang adalah bertani merupakan pekerjaan yang tidak menjanjikan. Pengelolaannya membutuhkan waktu yang panjang, belum lagi ancaman gagal panen jika ada perawatan yang salah sedikit saja. Maka dari itu, keuntungan yang didapat dari bertani pun cenderung lama. Dibutuhkan waktu berbulan-bulan agar benih yang disemai berubah menjadi uang. Hal itu cukup menjadi alasan yang kuat mengapa para pemuda di desa kini enggan untuk bertani. Singkatnya, bertani bukan lagi pekerjaan yang worth it bagi mereka.
Banyak ditemui para usia produktif di desa memilih untuk merantau menjadi pekerja instan di kota. Banyak dari mereka yang menjadi buruh pabrik, penjaga warung makan, dan pekerjaan kasar lainnya. Para perantau seperti di atas sedang menghadapi paradoks. Dengan bekerja di kota berarti turut mengeluarkan biaya yang tidak kecil pula, yaitu sewa indekos dan kebutuhan makan. Kedua biaya tersebut adalah autonomous consumption yang tidak bisa di skip setiap bulannya. Keduanya memiliki kecenderungan harga yang terus meningkat. Dengan gaji setara buruh pabrik, tentu akan kebingungan untuk membagi mana yang dipakai pribadi, dan mana yang harus disimpan.
Tingginya arus urbanisasi membuat penawaran akan buruh setara pekerja pabrik menjadi membludak. Akibatnya perusahaan akan memberikan gaji yang relatif kecil. Para perantau ini tidak memiliki kekuatan untuk terus meminta kenaikan gaji. Pilihannya ada dua; bertahan atau dipecat. Ketika memilih untuk bertahan, mereka harus survive dengan biaya hidup perkotaan. Ketika memilih berhenti mereka akan menghadapi zero income. Ketidakberdayaan serikat buruh untuk menuntut kenaikan gaji mengantarkan mereka pada dilema. Bertahan tapi tertekan, atau pulang dengan ancaman tidak mendapat pekerjaan.
Toh, jikapun mereka keluar, masih banyak yang menginginkan posisi dengan gaji kecil tersebut. Itu bukan jadi suatu masalah besar bagi perusahaan, paling hanya butuh memberi pesangon saja. Apa lagi dalam Omnibus Law pada UU Cipta Kerja –apabila jadi disahkan, para buruh tak punya daya untuk berserikat, apalagi mimpi pulang dengan pesangon.
Selama ini mereka bertahan dengan kondisi ekonomi demikian tanpa adanya solusi. Bayang-bayang bekerja di kota dengan gaji jutaan setiap bulannya berhasil menggiur kaum urban untuk beradu nasib sebagai pekerja instan. Pekerjaan di desa bersifat homogen, alias dianggap itu-itu saja. Kalau tidak bertani, ya berdagang. Tidak bisa berbuat lebih banyak untuk mendapat uang. Baginya kota adalah ladang uang, dengan hidup di kota akan membuatnya lebih cepat kaya raya.
Paradoks yang dihadapi perantau sudah seharusnya memunculkan sebuah solusi model kerja baru, di mana konsepnya berbeda dengan konsep perantau dalam memaknai kerja. Sejatinya bekerja bisa dilakukan di mana saja, desa sekalipun dapat digunakan sebagai ladang penghasilan dengan keadaan hidup yang harapannya lebih baik. Jika selama ini manusianya yang berpindah dari desa ke kota, bagaimana bila pekerjaannya yang dibawa dari kota ke desa?
Ada beberapa aspek yang diperhatikan ketika hendak membangun sebuah industri. Salah satu yang paling umum adalah mengenai pemilihan lokasi yang strategis. Lokasi pabrik yang strategis memberikan banyak kemudahan perihal distribusi barang, yang berimplikasi pada penghematan sehingga membuat harga produk semakin kompetitif. Terutama industri yang berskala besar, yang pasarnya telah menembus pasar internasional, membangun pabrik di dekat pelabuhan adalah salah satu opsi yang menarik.
Di samping preferensi perusahaan ketika akan membangun sentra industri, perihal Analisis Dampak Lingkungan wajib ‘ain untuk dituntaskan. Adanya sebuah industri di desa bukanlah tanda sebuah majunya peradaban, tetapi adalah indikator desa tersebut telah terbuka dengan globalisasi. Menjual tanah dan udara untuk dijajah investor adalah pilihan yang harus dihindari apabila mencoba membawa industri ke desa.
Sebenarnya ada banyak peluang jika konsep pemindahan pekerjaan ini diterapkan –Tanpa melupakan kewajiban menjaga lingkungan dan menghormati norma sekitar. Peluang untuk memperbaiki kelayakan hidup para buruh adalah muara utamanya. Dengan bekerja di desa mereka akan menghemat banyak biaya; tidak perlu sewa rumah serta biaya makan yang jauh lebih murah. Pun juga menghindari praktik perawatan buruh pabrik yang layaknya ayam, di mana satu rumah kecil dihuni oleh 40 orang, seperti isu yang selama ini santer terdengar.
Pembangunan sentra industri di desa sebaiknya disesuaikan dengan antropologis dan geografis desa. Artinya tidak sembarang membangun industri yang tidak memberikan impact berarti ke desa dan masyarakatnya itu sendiri. Adanya sebuah industri di desa harapannya dapat menyerap tenaga kerja yang besar, sehingga, orang-orang yang sudah terlanjur bekerja kasar di kota bisa kembali ke desa dengan kondisi dan biaya hidup yang lebih layak. Singkatnya, pembangunan tersebut adalah untuk kepentingan masyarakatnya sendiri, bukan permainan kolega penguasa.
Pemindahan pekerjaan ini tidak serta merta berputar pada kebutuhan desa saja. Pemasarannya tetap dijalankan selayaknya industri yang di kota-kota. Proses perencanaan hingga pengorganisasian dilakukan sebagaimana mestinya. Mengadopsi pola kerja kota, seharusnya model ini dapat menguntungkan warga desa dan ekonomi desanya itu sendiri.
Tentunya tidak semua industri bisa dibangun di desa. Ada beberapa pengecualian bagi industri yang operasionalnya membutuhkan tenaga terdidik dengan kualifikasi tinggi. Industri yang dibangun adalah yang membutuhkan banyak tenaga manusia, dan tentunya cocok bagi orang pedesaan. Salah satu industri yang cocok adalah garmen. Orang desa tentu banyak yang terampil dalam urusan ini. Pabrik untuk memenuhi kebutuhan ranah domestik yang ramah lingkungan pun juga menarik.
Prinsip yang digunakan dalam praktik ini adalah pemindahan lokasi produksi saja. Maka, rasionalnya yang paling terdampak adalah biaya distribusi yang jadi lebih mahal. Terlebih jika pabrik yang bersangkutan telah menembus pasar internasional, menempatkan pabrik di pedesaan yang jauh dari pelabuhan akan berdampak sangat besar.
Untuk menghargai preferensi perusahaan dalam memilih lokasi guna menghemat biaya distribusi, maka tak sembarang industri dianjurkan untuk didirikan di desa –yang jauh dari pelabuhan. Perusahaan yang dianjurkan adalah yang pasarnya masih merambah pasar dalam negeri, dan pendistribusian yang tidak terlampau jauh dari kota/kabupaten dan provinsi setempat.
Konsep ini membantu masyarakat untuk survive menghadapi pengalihan pembangunan nasional yang mengarah ke negara industri; tanpa perlu menaikkan angka urbanisasi yang semakin membuat kondisi buruh kian mengerikan. Memberikan solusi atas perubahan pembangunan ini sebaiknya tak hanya melulu digaungkan di kota. Masyarakat sudah semestinya dapat hidup dan berkembang di wilayahnya sendiri. Sebab fakta yang dihadapi sudah tidak ramah terhadap pekerjaan mereka; bertani.
Artikel ini telah diterbitkan oleh LPM EKONOMIKA di majalahnya yang berjudul Geliat Masyarakat Desa
Tidak ada komentar:
Posting Komentar