Minggu, 05 Desember 2021

Gerakan Kolektif Masyarakat Paguyuban yang Tereduksi

August Comte memandang masyarakat sebagai kesatuan yang evolusioner. Manusia adalah bagian dari alam, maka dari itu perubahan adalah sebuah keniscayaan. Lalu menurut Bouman, masyarakat adalah pergaulan manusia yang akrab dan dipersatukan oleh cara-cara tertentu.

Menjadi masyarakat patembayan yang lekat dengan budaya perkotaan, tentu sudah terbiasa dengan diversitas latar belakang manusia. Kepadatan dan riuhnya aktivitas telah menciptakan ruang yang berorientasi pada komunikasi substantif. Kontradiksi dengan itu, interaksi masyarakat desa bersifat gemeinschaft. Masyarakat terikat pada kekuatan batin yang berkaitan satu sama lain. Komunikasi tercipta berdasarkan rasa kekeluargaan dan saling memiliki.

Seiring dengan perkembangan globalisasi pola interaksi di masyarakat pun turut berubah. Masyarakat kota, yang menjadi subjek pertama yang mengkonsumsi perubahan itu, sangat reaktif dalam menyikapinya. Pun bagi masyarakat desa, teknologi komunikasi mengubah pola interaksi. Nilai-nilai dan praktik kolektivitas kurang terasa dan mengalami reduksi (Abdul Halik, 2018 : 80).

Masyarakat kota tidak terikat satu sama lain dan bebas akan mobilitas perpindahan manusia. Maka dari itu kebudayaan kota adalah dinamis seiring dengan perubahan komposisi lingkungan hidupnya (Alfien Pandaleke, 2015 : 9). Sedangkan di pedesaan kebudayaannya cenderung homogen seperti dalam hal pekerjaan, agama, nilai-nilai, dan tingkah laku (Roucek dan Warren, 1990).

Masyarakat desa begitu lekat dengan mentalitasnya. Banyak stereotip yang berkembang mengenai kebudayaan dan mentalitasnya itu sendiri. Terlebih di era urbanisasi yang cukup menjadi tren, menjadi suatu permasalahan jika seseorang dengan mental desa harus tinggal di kota. Timbulnya masalah karena seringkali adanya paksaan menggunakan mentalitas kota yang tidak jarang kontradiksi. Perbincangan mengenai desa sering kali lekat dengan perbedaannya yang kontras dengan kehidupan kota. Mentalitas desa kerap kali disimbolkan sebagai suatu ketertinggalan.

“Orang desa sekarang tidak bisa dijudge sebagai orang yang katrok, tidak well educated, terhambat informasinya. Nyatanya saat ini apa yang ada di kota di desa juga sudah ada, hanya saja akses untuk mendapatkan sesuatu orang kota cenderung lebih mudah,” ucap Sudarsono, salah seorang warga Desa Sarimulyo, Kabupaten Jember. Ia sudah menghabiskan waktunya selama kurang lebih 10 tahun untuk “keluar dari desa”. Ia juga mengungkapkan hasil pengamatannya terhadap perubahan yang terjadi di sisi sosial masyarakat desa yang mulai menyerupai kehidupan kota. “Sekarang anak muda-muda di desa ini mulai membuat kelompok-kelompok yang sama, geng-geng yang sama.” 

Hal yang diungkap Sudarsono bisa diperhitungkan sebab saat ini perdesaan pun mengalami pergeseran di banyak sisi; sosial, ekonomi, dll. Desa bukan lagi sebuah tempat yang terisolasi dan minim akses. Lebih dari itu perdesaan mengalami perkembangan seiring dengan majunya teknologi dan ilmu pengetahuan.

Salah satu perbedaan yang mencolok antara desa dan kota adalah keberagaman pekerjaan. Desa ditempatkan pada subordinat agraria, dan itu membuat pekerjaan di desa cenderung homogen. Sedangkan di kota terdapat banyak ragam pekerjaan, hal ini merupakan salah satu faktor yang memicu semakin tingginya mobilitas penduduk dari desa ke kota (urbanisasi).

Secara teori perhitungan persentase urbanisasi melibatkan tiga variabel, yaitu penduduk alami, migrasi dari desa ke kota, dan reklasifikasi ulang. Dalam data yang dirilis oleh Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), angka urbanisasi di Indonesia per 2020 mencapai 56,7%. Terkhusus untuk provinsi di Pulau Jawa dan Bali, angka urbanisasi telah melampaui angka urbanisasi secara nasional. Bahkan untuk Provinsi DKI Jakarta, tingkat urbanisasi tercatat sebesar 100%.

Luh Kitty Khaterina, peneliti di Pusat Penelitian Kependudukan LIPI, menuliskan dalam artikelnya yang berjudul Urbanisasi dan Secondary Cities bahwa urbanisasi di Indonesia dipicu oleh pembangunan ekonomi, terutama pada sektor barang dan jasa yang umumnya berada di kota besar. Hal ini disebabkan oleh keberadaan utilitas, salah satunya adalah konsentrasi tenaga kerja terampil dan keberadaan pasar.

Dengan semakin berkembangnya urbanisasi, sekat-sekat yang memisahkan kota dan desa pun perlahan-lahan memudar. Bahkan menurut Alfien Pandaleke, dalam bukunya yang berjudul Sosiologi Perkotaan, masyarakat desa dan kota bukanlah komoditas yang terpisah sama sekali. Hanya saja kaidah-kaidah sosialnya yang berbeda.

Para perantau ini juga menjadi penyumbang lunturnya sekat antara desa dan kota. Mereka yang merantau telah membaur dengan budaya kota, lalu membawa budaya tersebut ketika pulang ke kampung halamannya. 

Kehidupan masyarakat desa yang didasarkan oleh gerakan kolektif menciptakan aturan-aturan tidak tertulis yang biasa disebut dengan norma. Masyarakat desa masih mematuhi kebiasaan yang ditinggalkan oleh para tetuanya, atau yang biasa disebut dengan budaya. 

Kebudayaan masyarakat desa seperti ritual, upacara adat, serta budaya yang lainnya tidak didasarkan pada pikiran yang logis, melainkan meletakkan keputusan untuk melakukan kebiasaan itu pada perasaannya. Pada praktiknya, masyarakat desa sangat pantang untuk melewatkan kebiasaan yang ditinggalkan oleh tetuanya. Mereka telah menyatu dengan kebiasaan-kebiasaan tersebut. Sehingga apabila melewatkannya sekali saja, ada perasaan hilang dan ketakutan terhadap sesuatu hal yang akan terjadi. “Kegiatan itu sudah mendarah daging dengan perilaku sehari-hari, kalau ditiadakan itu seperti ada yang hilang meskipun tidak logis,” jelas Faraz Umaya, dosen psikologi sekaligus ahli antropologi Universitas Islam Indonesia (UII).

Pengambilan keputusan secara tidak logis sudah lumrah ditemui, khususnya pada kebudayaan desa yang telah terinternalisasi sejak dulu. Dengan penjelasan yang lebih ilmiah, pengambilan keputusan ini didasarkan pada sistem limbik yang merupakan bagian otak yang mengatur tingkah laku emosi. “Di psikologi, namanya kita bermain di sistem limbik, di amigdala. Jadi dia punya keputusan bukan pada rasional, tetapi pada perasaan. Contohnya ada di masyarakat perdesaan,” ujar Faraz. 

Pengambilan keputusan yang mayoritas menggunakan sistem limbik ini membuat masyarakat desa cenderung hipokrit dalam berbagai macam hal. Mereka lebih suka untuk tidak mengatakan apa yang sebenarnya. Di antropologi, geografis dan lingkungan mempengaruhi psikologis masyarakat. Faraz mengatakan “di kota didorong untuk beringas, lebih didorong untuk ekstrovert. Kalau di desa, lingkungan didorong untuk lebih introvert.” 

Dalam masyarakat Jawa terdapat istilah “nrimo ing pandum”. Terminologi ini diinternalisasi oleh masyarakat desa dalam kehidupan sehari-hari. “Orang desa itu nerima. Sehingga apa, karena dia nerima, dia tidak ada “pikiran”. Itu memberikan kesehatan yang luar biasa pada dirinya,” kata Faraz. 

Mobilitas yang relatif lambat menyebabkan masyarakat desa memiliki rasa sosial yang tinggi. Menurut Faraz, dalam kehidupan sehari-hari masyarakat desa mengutamakan prinsip ketentraman. Mereka mengenal dengan baik seluruh warga desa. Dalam radius beberapa kilometer, selama masih satu kawasan, mereka akan saling mengenal. Budaya komunal adalah sebuah keniscayaan. Manunggaling kawula Gusti, mereka mencari ketenangan batin pada interaksinya sehari-hari. Interaksi tersebut dikemas dalam bentuk-bentuk gerakan sosial seperti kerja bakti, yasinan, dan sebagainya.

Meskipun saling terikat satu sama lain, di masyarakat desa juga masih terdapat masalah sosial, yang paling umum ditemui adalah ketegangan (pertengkaran) antara dua orang atau lebih. Masyarakat desa cenderung untuk tidak mengatakan apa yang sebenarnya ada di kepala. Sehingga gesekan karena komunikasi yang tidak sehat ini kerap terjadi di masyarakat desa. Faraz mengatakan bahwa kebiasaan tersebut adalah pembungkusan yang luar biasa; untuk tidak mau terus terang. Karakter semacam itu yang dihinggapi oleh masyarakat desa sampai sekarang.

Di era globalisasi seperti saat ini, perkembangan teknologi komunikasi telah menyentuh perdesaan. Teknologi komunikasi kini tidak sekadar dimanfaatkan untuk saling berhubungan karena sebuah kepentingan. Namun lebih jauh dari itu, teknologi komunikasi telah menjadi hiburan tersendiri bagi mereka.

Saat ini masyarakat desa tengah mengalami goncangan yang hebat dikarenakan munculnya tren penggunaan telepon selular. Infrastruktur desa belum kondusif terhadap perilaku yang seharusnya. Seorang sosiolog dari Makassar, Abdul Halik, dalam jurnalnya yang berjudul Pragmatisme Komunikasi Masyarakat Pedesaan (Rekonstruksi Ruang Sosial Penggunaan Telepon Selular di Pedesaan), menuliskan bahwa dalam konteks perspektif interaksionisme simbolis, masyarakat desa memaknai telepon selular sebagai tuntutan perkembangan zaman. Menghadapi penggunaan telepon selular yang mulai masif di lingkungannya, masyarakat desa memandang harus menyesuaikan diri dengan turut menggunakan telepon selular agar tetap eksis dan diakui sebagai anggota kelompok masyarakat. Artinya masyarakat dan individu saling mempengaruhi untuk menciptakan iklim bermasyarakat yang baru.

Fenomena tereduksinya gerakan kolektif masyarakat juga dirasakan oleh Sudarsono. “Dulu saat akan transmigrasi, orang desa merasa sudah merasa seperti kehilangan sanak saudara. Tetapi saat ini sudah tidak demikian karena sudah bisa video call, ini salah satu keuntungannya,” ujarnya. Ia juga mengutarakan pendapatnya mengenai dampak negatif yang ditimbulkan. “Kehidupan komunal di desa sudah mulai berkurang karena orang-orang cenderung lebih individualis. Ketika orang ngobrol, ada telepon, ia lebih mengutamakan membuka handphone-nya daripada menjawab obrolannya. Saat ngobrol ada whatsapp, orang lebih mengutamakan handphone-nya, padahal whatsapp bisa dibuka nanti,” jelasnya. Telepon selular mereduksi komunikasi visual antar perorangan.

Pergeseran gerakan kolektif yang digantikan dengan telepon selular telah merekonstruksi ruang komunikasi masyarakat desa. Bahkan Abdul Halik juga menuliskan bahwa nilai-nilai kemuliaan budaya masyarakat desa cenderung mengalami pergeseran seiring dengan semakin populernya budaya pragmatisme. Menurutnya kecenderungan ini mendorong masyarakat desa menjadi individualistik, cenderung simbolis, dan dramaturgis.

Perubahan yang dialami oleh masyarakat desa merupakan sesuatu yang pasti terjadi. Sebagaimana yang dikatakan oleh Comte bahwa masyarakat adalah sebuah kesatuan yang evolusioner. 


Artikel ini telah diterbitkan di Majalah LPM Ekonomika yang berjudul Geliat Masyarakat Desa. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar