Minggu, 05 Desember 2021

FSTVLST Manggung Online: Ajang Memutar Kenangan hingga Momen Cari Jodoh




Tiap orang punya caranya masing-masing dalam  merayakan kesedihan. Begitupun saya di malam itu, punya cara sendiri untuk merayakan Minggu yang mendung. Tak lain adalah dengan menonton FSTVLST, band asal Yogyakarta yang cukup terkenal di kalangan anak kuliahan Jogja. 

Kemarin FSTVLST manggung di acaranya Super Accounting Program! Acaranya anak Akuntansi UII. Apresiasi juga buat anak Akuntansi UII berani ngundang FSTVLST. Biasanya kalau UII pasarnya itu Pamungkas, Kunto Aji, Tulus, dan lain-lain yang sejenis. 

Kehadiran FSTVLST di panggung malam itu layaknya oase di tengah terseoknya industri kreatif dua tahun belakangan. Tetapi syukur, seiring masifnya vaksinasi, keadaan sudah mulai pulih. Alhamdulillah terhitung per Desember ini sudah ada beberapa musisi yang 'nekat' menggelar konser offline -walaupun FSTVLST belum mengadakannya. 

Syukurnya lagi kita sudah hidup di abad 21. Digitalisasi masif terjadi di mana-mana hingga konser musik pun bisa diadakan di dalam jaringan. Memang sebenarnya terobosan manggung online ini lebih memperluas jangkauan penonton. Namun ada hal paling penting yang tidak dapat tergantikan, yakni suasana. Terlebih FSTVLST (menurut saya) juga menawarkan itu (suasana). Rasanya value FSTVLST mengenai kesetaraan, masyarakat yang guyub dan setara, tidak tersampaikan secara maksimal melalui konser online. Biasanya membaur dengan siapapun, kini cuma nonton dari layar masing-masing. Cuma bisa menganggukkan kepala, mungkin ada juga yang mukul-mukul meja. 

Tetapi tidak mengapa, ketimbang konser offline engko mah keno covid. Karena nonton FSTVLST tidak bisa dinikmati sambil duduk dan jaga jarak. Kenapa begitu? Karena FLKTVLST yang manggung aja orang-orang tetep moshing. Tapi aku sok tahu banget nggak, sih? Kita Festivalist pasti bisa kok duduk anteng dan prokes demi nonton FSTVLST offline

Manggung malam itu merupakan panggung online pertama FSTVLST yang saya tonton. Seketika memutar kembali memori 2019 saat saya nyaris tidak pernah absen kalau FSTVLST manggung di Jogja. Rupanya itu tidak hanya dirasakan oleh saya, kolom komentar penuh dengan kalimat yang sama dari 300+ penonton, kurang lebih tajuknya "kangen, kapan ya bisa offline?" FSTVLST berhasil mengajak kita berkomunikasi melalui pembawaan Farid Stevy yang menyenangkan seperti biasanya. 

Playlist yang diputar diambil dari kombinasi albumnya, Hits Kitsch dan Fstvlst II. Nampaknya FSTVLST perlu memasarkan lagi albumnya yang II. Sebab euforianya kurang *ugh* jika dibandingkan dengan Satu Terbela Selalu, lagu yang dipakai untuk membuka panggung. 

Sebenarnya ini membingungkan, antara kita yang masih belum terbiasa dengan beberapa lagunya karena kurang promosi, atau FSTVLST aja yang kurang latihan. Tetapi itu minor aja, tidak usah diambil pikiran secara berlebihan. 

Setiap FSTVLST manggung selalu membawa atmosfer yang unik. Saking uniknya, saya pribadi sampai bingung harus berekspresi seperti apa di panggung semalam. Sempat menangis terharu sebab akhirnya bisa nonton FSTVLST lagi. Sempat juga sedih bertanya-tanya kapan bisa nonton FSTVLST lagi? Sempat tertawa juga membaca kolom komentar yang ribut mencari jodoh virtual. 

Membicarakan FSTVLST pasti juga membicarakan penggemarnya. Antusiasme panggung malam itu cukup besar. Mereka mengekspresikan diri dengan menanggapi jokes-nya Farid Stevy. Saling membalas komentar dengan penonton lainnya yang saya yakin mereka tidak saling mengenal. Banyak pula komentar random yang mengundang tawa. 

Panggung ini tepat sekali diadakan di hari Minggu malam. Waktu bagi kita mengisi daya untuk seminggu ke depan. Terima kasih, FSTVLST, sudah meluangkan waktu untuk menghibur kami! Musikmu menjadi sumber energi bagi banyak orang.

Kaum Urban dan Paradoks yang Dihadapinya

Tingginya jumlah penduduk di Indonesia perlu dibarengi dengan penyediaan pangan yang mendukung. Hal itu menjadikan pertanian begitu vital bagi Indonesia. Menyandang gelar sebagai negara agraris, rasionalnya konsentrasi pembangunan diarahkan dalam upaya pengelolaan sumber daya alam yang berpusat dalam bidang pertanian dan perkebunan. Persoalan mengemuka apakah status sebagai negara agraris masih tetap layak untuk Indonesia?

 Berbagai upaya telah dilakukan untuk mengembangkan dan membuat kebijakan yang relevan demi memajukan pertanian, utamanya beras. Pada masa pemerintahan Presiden Soeharto, pemerintah telah mencanangkan Rencana Pembangunan Lima Tahun (Repelita), di mana swasembada pangan merupakan fokus utamanya. Perubahan pola tanam terjadi pada saat itu, tahun 1969 Indonesia produksi beras nasional sekitar 12,2 juta ton, sementara pada 1984 bisa mencapai 25,8 juta ton. Rentang waktu yang pendek untuk mengubah produksi dari impor menjadi swasembada. 

Pada masa reformasi, Repelita berganti wujud menjadi Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN). Pemerintah belum bergeser untuk tetap berupaya menyediakan ketahanan pangan. Sayangnya perubahan politik dan perekonomian global mengubah capaian yang ditetapkan meleset dari perencanaan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN). Kebutuhan pangan sering didominasi melalui impor. Masalah ini didukung oleh terus berkurangnya lahan pertanian.

Di samping menurunnya lahan pertanian, persoalan yang kini tengah dihadapi adalah menurunnya minat masyarakat untuk bertani, utamanya para pemuda. Sawah saat ini umumnya dipegang oleh pekerja usia tidak produktif (lanjut usia). Para usia muda yang memilih untuk mengurus sawah tergolong langka bahkan nyaris tidak ada. Kalaupun ada, umumnya mereka yang tidak terdidik baik atau karena keterpaksaan.

Stereotip yang berkembang adalah bertani merupakan pekerjaan yang tidak menjanjikan. Pengelolaannya membutuhkan waktu yang panjang, belum lagi ancaman gagal panen jika ada perawatan yang salah sedikit saja. Maka dari itu, keuntungan yang didapat dari bertani pun cenderung lama. Dibutuhkan waktu berbulan-bulan agar benih yang disemai berubah menjadi uang. Hal itu cukup menjadi alasan yang kuat mengapa para pemuda di desa kini enggan untuk bertani. Singkatnya, bertani bukan lagi pekerjaan yang worth it bagi mereka.

Banyak ditemui para usia produktif di desa memilih untuk merantau menjadi pekerja instan di kota. Banyak dari mereka yang menjadi buruh pabrik, penjaga warung makan, dan pekerjaan kasar lainnya. Para perantau seperti di atas sedang menghadapi paradoks. Dengan bekerja di kota berarti turut mengeluarkan biaya yang tidak kecil pula, yaitu sewa indekos dan kebutuhan makan. Kedua biaya tersebut adalah autonomous consumption yang tidak bisa di skip setiap bulannya. Keduanya memiliki kecenderungan harga yang terus meningkat. Dengan gaji setara buruh pabrik, tentu akan kebingungan untuk membagi mana yang dipakai pribadi, dan mana yang harus disimpan. 

Tingginya arus urbanisasi membuat penawaran akan buruh setara pekerja pabrik menjadi membludak. Akibatnya perusahaan akan memberikan gaji yang relatif kecil. Para perantau ini tidak memiliki kekuatan untuk terus meminta kenaikan gaji. Pilihannya ada dua; bertahan atau dipecat. Ketika memilih untuk bertahan, mereka harus survive dengan biaya hidup perkotaan. Ketika memilih berhenti mereka akan menghadapi zero income. Ketidakberdayaan serikat buruh untuk menuntut kenaikan gaji mengantarkan mereka pada dilema. Bertahan tapi tertekan, atau pulang dengan ancaman tidak mendapat pekerjaan.

Toh, jikapun mereka keluar, masih banyak yang menginginkan posisi dengan gaji kecil tersebut. Itu bukan jadi suatu masalah besar bagi perusahaan, paling hanya butuh memberi pesangon saja. Apa lagi dalam Omnibus Law pada UU Cipta Kerja –apabila jadi disahkan, para buruh tak punya daya untuk berserikat, apalagi mimpi pulang dengan pesangon.

Selama ini mereka bertahan dengan kondisi ekonomi demikian tanpa adanya solusi. Bayang-bayang bekerja di kota dengan gaji jutaan setiap bulannya berhasil menggiur kaum urban untuk beradu nasib sebagai pekerja instan. Pekerjaan di desa bersifat homogen, alias dianggap itu-itu saja. Kalau tidak bertani, ya berdagang. Tidak bisa berbuat lebih banyak untuk mendapat uang. Baginya kota adalah ladang uang, dengan hidup di kota akan membuatnya lebih cepat kaya raya.

Paradoks yang dihadapi perantau sudah seharusnya memunculkan sebuah solusi model kerja baru, di mana konsepnya berbeda dengan konsep perantau dalam memaknai kerja. Sejatinya bekerja bisa dilakukan di mana saja, desa sekalipun dapat digunakan sebagai ladang penghasilan dengan keadaan hidup yang harapannya lebih baik. Jika selama ini manusianya yang berpindah dari desa ke kota, bagaimana bila pekerjaannya yang dibawa dari kota ke desa? 

Ada beberapa aspek yang diperhatikan ketika hendak membangun sebuah industri. Salah satu yang paling umum adalah mengenai pemilihan lokasi yang strategis. Lokasi pabrik yang strategis memberikan banyak kemudahan perihal distribusi barang, yang berimplikasi pada penghematan sehingga membuat harga produk semakin kompetitif. Terutama industri yang berskala besar, yang pasarnya telah menembus pasar internasional, membangun pabrik di dekat pelabuhan adalah salah satu opsi yang menarik.

Di samping preferensi perusahaan ketika akan membangun sentra industri, perihal Analisis Dampak Lingkungan wajib ‘ain untuk dituntaskan. Adanya sebuah industri di desa bukanlah tanda sebuah majunya peradaban, tetapi adalah indikator desa tersebut telah terbuka dengan globalisasi. Menjual tanah dan udara untuk dijajah investor adalah pilihan yang harus dihindari apabila mencoba membawa industri ke desa.

Sebenarnya ada banyak peluang jika konsep pemindahan pekerjaan ini diterapkan –Tanpa melupakan kewajiban menjaga lingkungan dan menghormati norma sekitar. Peluang untuk memperbaiki kelayakan hidup para buruh adalah muara utamanya. Dengan bekerja di desa mereka akan menghemat banyak biaya; tidak perlu sewa rumah serta biaya makan yang jauh lebih murah. Pun juga menghindari praktik perawatan buruh pabrik yang layaknya ayam, di mana satu rumah kecil dihuni oleh 40 orang, seperti isu yang selama ini santer terdengar.

Pembangunan sentra industri di desa sebaiknya disesuaikan dengan antropologis dan geografis desa. Artinya tidak sembarang membangun industri yang tidak memberikan impact berarti ke desa dan masyarakatnya itu sendiri. Adanya sebuah industri di desa harapannya dapat menyerap tenaga kerja yang besar, sehingga, orang-orang yang sudah terlanjur bekerja kasar di kota bisa kembali ke desa dengan kondisi dan biaya hidup yang lebih layak. Singkatnya, pembangunan tersebut adalah untuk kepentingan masyarakatnya sendiri, bukan permainan kolega penguasa.

Pemindahan pekerjaan ini tidak serta merta berputar pada kebutuhan desa saja. Pemasarannya tetap dijalankan selayaknya industri yang di kota-kota. Proses perencanaan hingga pengorganisasian dilakukan sebagaimana mestinya. Mengadopsi pola kerja kota, seharusnya model ini dapat menguntungkan warga desa dan ekonomi desanya itu sendiri.

Tentunya tidak semua industri bisa dibangun di desa. Ada beberapa pengecualian bagi industri yang operasionalnya membutuhkan tenaga terdidik dengan kualifikasi tinggi. Industri yang dibangun adalah yang membutuhkan banyak tenaga manusia, dan tentunya cocok bagi orang pedesaan. Salah satu industri yang cocok adalah garmen. Orang desa tentu banyak yang terampil dalam urusan ini. Pabrik untuk memenuhi kebutuhan ranah domestik yang ramah lingkungan pun juga menarik.

Prinsip yang digunakan dalam praktik ini adalah pemindahan lokasi produksi saja. Maka, rasionalnya yang paling terdampak adalah biaya distribusi yang jadi lebih mahal. Terlebih jika pabrik yang bersangkutan telah menembus pasar internasional, menempatkan pabrik di pedesaan yang jauh dari pelabuhan akan berdampak sangat besar. 

Untuk menghargai preferensi perusahaan dalam memilih lokasi guna menghemat biaya distribusi, maka tak sembarang industri dianjurkan untuk didirikan di desa –yang jauh dari pelabuhan. Perusahaan yang dianjurkan adalah yang pasarnya masih merambah pasar dalam negeri, dan pendistribusian yang tidak terlampau jauh dari kota/kabupaten dan provinsi setempat. 

Konsep ini membantu masyarakat untuk survive menghadapi pengalihan pembangunan nasional yang mengarah ke negara industri; tanpa perlu menaikkan angka urbanisasi yang semakin membuat kondisi buruh kian mengerikan. Memberikan solusi atas perubahan pembangunan ini sebaiknya tak hanya melulu digaungkan di kota. Masyarakat sudah semestinya dapat hidup dan berkembang di wilayahnya sendiri. Sebab fakta yang dihadapi sudah tidak ramah terhadap pekerjaan mereka; bertani.


Artikel ini telah diterbitkan oleh LPM EKONOMIKA di majalahnya yang berjudul Geliat Masyarakat Desa



Gerakan Kolektif Masyarakat Paguyuban yang Tereduksi

August Comte memandang masyarakat sebagai kesatuan yang evolusioner. Manusia adalah bagian dari alam, maka dari itu perubahan adalah sebuah keniscayaan. Lalu menurut Bouman, masyarakat adalah pergaulan manusia yang akrab dan dipersatukan oleh cara-cara tertentu.

Menjadi masyarakat patembayan yang lekat dengan budaya perkotaan, tentu sudah terbiasa dengan diversitas latar belakang manusia. Kepadatan dan riuhnya aktivitas telah menciptakan ruang yang berorientasi pada komunikasi substantif. Kontradiksi dengan itu, interaksi masyarakat desa bersifat gemeinschaft. Masyarakat terikat pada kekuatan batin yang berkaitan satu sama lain. Komunikasi tercipta berdasarkan rasa kekeluargaan dan saling memiliki.

Seiring dengan perkembangan globalisasi pola interaksi di masyarakat pun turut berubah. Masyarakat kota, yang menjadi subjek pertama yang mengkonsumsi perubahan itu, sangat reaktif dalam menyikapinya. Pun bagi masyarakat desa, teknologi komunikasi mengubah pola interaksi. Nilai-nilai dan praktik kolektivitas kurang terasa dan mengalami reduksi (Abdul Halik, 2018 : 80).

Masyarakat kota tidak terikat satu sama lain dan bebas akan mobilitas perpindahan manusia. Maka dari itu kebudayaan kota adalah dinamis seiring dengan perubahan komposisi lingkungan hidupnya (Alfien Pandaleke, 2015 : 9). Sedangkan di pedesaan kebudayaannya cenderung homogen seperti dalam hal pekerjaan, agama, nilai-nilai, dan tingkah laku (Roucek dan Warren, 1990).

Masyarakat desa begitu lekat dengan mentalitasnya. Banyak stereotip yang berkembang mengenai kebudayaan dan mentalitasnya itu sendiri. Terlebih di era urbanisasi yang cukup menjadi tren, menjadi suatu permasalahan jika seseorang dengan mental desa harus tinggal di kota. Timbulnya masalah karena seringkali adanya paksaan menggunakan mentalitas kota yang tidak jarang kontradiksi. Perbincangan mengenai desa sering kali lekat dengan perbedaannya yang kontras dengan kehidupan kota. Mentalitas desa kerap kali disimbolkan sebagai suatu ketertinggalan.

“Orang desa sekarang tidak bisa dijudge sebagai orang yang katrok, tidak well educated, terhambat informasinya. Nyatanya saat ini apa yang ada di kota di desa juga sudah ada, hanya saja akses untuk mendapatkan sesuatu orang kota cenderung lebih mudah,” ucap Sudarsono, salah seorang warga Desa Sarimulyo, Kabupaten Jember. Ia sudah menghabiskan waktunya selama kurang lebih 10 tahun untuk “keluar dari desa”. Ia juga mengungkapkan hasil pengamatannya terhadap perubahan yang terjadi di sisi sosial masyarakat desa yang mulai menyerupai kehidupan kota. “Sekarang anak muda-muda di desa ini mulai membuat kelompok-kelompok yang sama, geng-geng yang sama.” 

Hal yang diungkap Sudarsono bisa diperhitungkan sebab saat ini perdesaan pun mengalami pergeseran di banyak sisi; sosial, ekonomi, dll. Desa bukan lagi sebuah tempat yang terisolasi dan minim akses. Lebih dari itu perdesaan mengalami perkembangan seiring dengan majunya teknologi dan ilmu pengetahuan.

Salah satu perbedaan yang mencolok antara desa dan kota adalah keberagaman pekerjaan. Desa ditempatkan pada subordinat agraria, dan itu membuat pekerjaan di desa cenderung homogen. Sedangkan di kota terdapat banyak ragam pekerjaan, hal ini merupakan salah satu faktor yang memicu semakin tingginya mobilitas penduduk dari desa ke kota (urbanisasi).

Secara teori perhitungan persentase urbanisasi melibatkan tiga variabel, yaitu penduduk alami, migrasi dari desa ke kota, dan reklasifikasi ulang. Dalam data yang dirilis oleh Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), angka urbanisasi di Indonesia per 2020 mencapai 56,7%. Terkhusus untuk provinsi di Pulau Jawa dan Bali, angka urbanisasi telah melampaui angka urbanisasi secara nasional. Bahkan untuk Provinsi DKI Jakarta, tingkat urbanisasi tercatat sebesar 100%.

Luh Kitty Khaterina, peneliti di Pusat Penelitian Kependudukan LIPI, menuliskan dalam artikelnya yang berjudul Urbanisasi dan Secondary Cities bahwa urbanisasi di Indonesia dipicu oleh pembangunan ekonomi, terutama pada sektor barang dan jasa yang umumnya berada di kota besar. Hal ini disebabkan oleh keberadaan utilitas, salah satunya adalah konsentrasi tenaga kerja terampil dan keberadaan pasar.

Dengan semakin berkembangnya urbanisasi, sekat-sekat yang memisahkan kota dan desa pun perlahan-lahan memudar. Bahkan menurut Alfien Pandaleke, dalam bukunya yang berjudul Sosiologi Perkotaan, masyarakat desa dan kota bukanlah komoditas yang terpisah sama sekali. Hanya saja kaidah-kaidah sosialnya yang berbeda.

Para perantau ini juga menjadi penyumbang lunturnya sekat antara desa dan kota. Mereka yang merantau telah membaur dengan budaya kota, lalu membawa budaya tersebut ketika pulang ke kampung halamannya. 

Kehidupan masyarakat desa yang didasarkan oleh gerakan kolektif menciptakan aturan-aturan tidak tertulis yang biasa disebut dengan norma. Masyarakat desa masih mematuhi kebiasaan yang ditinggalkan oleh para tetuanya, atau yang biasa disebut dengan budaya. 

Kebudayaan masyarakat desa seperti ritual, upacara adat, serta budaya yang lainnya tidak didasarkan pada pikiran yang logis, melainkan meletakkan keputusan untuk melakukan kebiasaan itu pada perasaannya. Pada praktiknya, masyarakat desa sangat pantang untuk melewatkan kebiasaan yang ditinggalkan oleh tetuanya. Mereka telah menyatu dengan kebiasaan-kebiasaan tersebut. Sehingga apabila melewatkannya sekali saja, ada perasaan hilang dan ketakutan terhadap sesuatu hal yang akan terjadi. “Kegiatan itu sudah mendarah daging dengan perilaku sehari-hari, kalau ditiadakan itu seperti ada yang hilang meskipun tidak logis,” jelas Faraz Umaya, dosen psikologi sekaligus ahli antropologi Universitas Islam Indonesia (UII).

Pengambilan keputusan secara tidak logis sudah lumrah ditemui, khususnya pada kebudayaan desa yang telah terinternalisasi sejak dulu. Dengan penjelasan yang lebih ilmiah, pengambilan keputusan ini didasarkan pada sistem limbik yang merupakan bagian otak yang mengatur tingkah laku emosi. “Di psikologi, namanya kita bermain di sistem limbik, di amigdala. Jadi dia punya keputusan bukan pada rasional, tetapi pada perasaan. Contohnya ada di masyarakat perdesaan,” ujar Faraz. 

Pengambilan keputusan yang mayoritas menggunakan sistem limbik ini membuat masyarakat desa cenderung hipokrit dalam berbagai macam hal. Mereka lebih suka untuk tidak mengatakan apa yang sebenarnya. Di antropologi, geografis dan lingkungan mempengaruhi psikologis masyarakat. Faraz mengatakan “di kota didorong untuk beringas, lebih didorong untuk ekstrovert. Kalau di desa, lingkungan didorong untuk lebih introvert.” 

Dalam masyarakat Jawa terdapat istilah “nrimo ing pandum”. Terminologi ini diinternalisasi oleh masyarakat desa dalam kehidupan sehari-hari. “Orang desa itu nerima. Sehingga apa, karena dia nerima, dia tidak ada “pikiran”. Itu memberikan kesehatan yang luar biasa pada dirinya,” kata Faraz. 

Mobilitas yang relatif lambat menyebabkan masyarakat desa memiliki rasa sosial yang tinggi. Menurut Faraz, dalam kehidupan sehari-hari masyarakat desa mengutamakan prinsip ketentraman. Mereka mengenal dengan baik seluruh warga desa. Dalam radius beberapa kilometer, selama masih satu kawasan, mereka akan saling mengenal. Budaya komunal adalah sebuah keniscayaan. Manunggaling kawula Gusti, mereka mencari ketenangan batin pada interaksinya sehari-hari. Interaksi tersebut dikemas dalam bentuk-bentuk gerakan sosial seperti kerja bakti, yasinan, dan sebagainya.

Meskipun saling terikat satu sama lain, di masyarakat desa juga masih terdapat masalah sosial, yang paling umum ditemui adalah ketegangan (pertengkaran) antara dua orang atau lebih. Masyarakat desa cenderung untuk tidak mengatakan apa yang sebenarnya ada di kepala. Sehingga gesekan karena komunikasi yang tidak sehat ini kerap terjadi di masyarakat desa. Faraz mengatakan bahwa kebiasaan tersebut adalah pembungkusan yang luar biasa; untuk tidak mau terus terang. Karakter semacam itu yang dihinggapi oleh masyarakat desa sampai sekarang.

Di era globalisasi seperti saat ini, perkembangan teknologi komunikasi telah menyentuh perdesaan. Teknologi komunikasi kini tidak sekadar dimanfaatkan untuk saling berhubungan karena sebuah kepentingan. Namun lebih jauh dari itu, teknologi komunikasi telah menjadi hiburan tersendiri bagi mereka.

Saat ini masyarakat desa tengah mengalami goncangan yang hebat dikarenakan munculnya tren penggunaan telepon selular. Infrastruktur desa belum kondusif terhadap perilaku yang seharusnya. Seorang sosiolog dari Makassar, Abdul Halik, dalam jurnalnya yang berjudul Pragmatisme Komunikasi Masyarakat Pedesaan (Rekonstruksi Ruang Sosial Penggunaan Telepon Selular di Pedesaan), menuliskan bahwa dalam konteks perspektif interaksionisme simbolis, masyarakat desa memaknai telepon selular sebagai tuntutan perkembangan zaman. Menghadapi penggunaan telepon selular yang mulai masif di lingkungannya, masyarakat desa memandang harus menyesuaikan diri dengan turut menggunakan telepon selular agar tetap eksis dan diakui sebagai anggota kelompok masyarakat. Artinya masyarakat dan individu saling mempengaruhi untuk menciptakan iklim bermasyarakat yang baru.

Fenomena tereduksinya gerakan kolektif masyarakat juga dirasakan oleh Sudarsono. “Dulu saat akan transmigrasi, orang desa merasa sudah merasa seperti kehilangan sanak saudara. Tetapi saat ini sudah tidak demikian karena sudah bisa video call, ini salah satu keuntungannya,” ujarnya. Ia juga mengutarakan pendapatnya mengenai dampak negatif yang ditimbulkan. “Kehidupan komunal di desa sudah mulai berkurang karena orang-orang cenderung lebih individualis. Ketika orang ngobrol, ada telepon, ia lebih mengutamakan membuka handphone-nya daripada menjawab obrolannya. Saat ngobrol ada whatsapp, orang lebih mengutamakan handphone-nya, padahal whatsapp bisa dibuka nanti,” jelasnya. Telepon selular mereduksi komunikasi visual antar perorangan.

Pergeseran gerakan kolektif yang digantikan dengan telepon selular telah merekonstruksi ruang komunikasi masyarakat desa. Bahkan Abdul Halik juga menuliskan bahwa nilai-nilai kemuliaan budaya masyarakat desa cenderung mengalami pergeseran seiring dengan semakin populernya budaya pragmatisme. Menurutnya kecenderungan ini mendorong masyarakat desa menjadi individualistik, cenderung simbolis, dan dramaturgis.

Perubahan yang dialami oleh masyarakat desa merupakan sesuatu yang pasti terjadi. Sebagaimana yang dikatakan oleh Comte bahwa masyarakat adalah sebuah kesatuan yang evolusioner. 


Artikel ini telah diterbitkan di Majalah LPM Ekonomika yang berjudul Geliat Masyarakat Desa.