Kamis, 06 Februari 2020

Ekonomi dan Budaya Minim Plastik



Dunia menuntut kita untuk terus berinovasi agar mencapai kelancaran mobilitas dalam berbagai macam hal. Efisiensi menjadi tujuan utama dari adanya sebuah inovasi. Seiring perkembangan zaman, tidak sedikit produk buah hasil inovasi menjadi masalah baru bagi peradaban, salah satunya adalah sampah plastik. Kemudahan yang diberikan dalam menggunakan bahan-bahan plastik tentunya semakin menarik khalayak umum untuk menggunakannya.
Menurut data Asosiasi Industri Plastik Indonesia (INAPLAS) dan Badan Pusat Statistik (BPS), setiap tahunnya Indonesia menyumbang 64 juta ton sampah plastik, dan sebanyak 3,2 juta ton diantaranya berada di laut. Berdasarkan data tersebut sampah plastik menjadi primadona dalam problematika pengolahan sampah, mengingat penguraian sampah plastik membutuhkan waktu yang sangat lama dan zat mikro yang ditinggalkan sangat berbahaya bagi lingkungan. Kondisi ini sangat paradoks dengan budaya masyarakat Indonesia, plastik masih menjadi teknologi untuk segala efisiensi dan mobilitas. Semakin menggunungnya sampah plastik sebaiknya berbanding lurus dengan upaya penekanan dan pengolahan sampah plastik yang lebih baik.

Sirkular Ekonomi
Dalam kegiatan perekonomian terdapat 4 sektor yang menggerakan roda perekonomian. Yaitu rumah tangga, perusahaan, pemerintah, dan luar negeri. Dalam praktik yang benar, seluruh sektor memiliki peran penting dalam proses produksi, distribusi, dan konsumsi. Artinya dari pengadaan sampai pembuangan suatu barang perlu adanya kontribusi dari semua sektor. Sejauh ini permasalahan paling klasik pada sirkular ekonomi adalah perihal pengolahan sampah.
Dalam praktiknya, perusahaan memaksimalkan produksi dengan biaya tertentu, dimana penghematan dan perhitungan biaya produksi menjadi prinsipnya. Dari kacamata industri, maka rasionalnya perusahaan akan memilih sesuatu yang mudah dan menguntungkan, penggunaan plastik dalam usaha salah satunya. Maka tidak heran jika sampah plastik masih menjadi primadona dalam problematika pengolahan sampah. Pemerintah telah menetapkan regulasi mengenai pendirian suatu perusahaan dalam pasal 36 ayat (1) Undang Undang Nomor 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPPLH) menyebutkan bahwa "Setiap usaha dan/atau kegiatan yang wajib memiliki amdal atau UKL-UPL wajib memiliki izin lingkungan". Amdal adalah akronim dari Analisis Mengenai Dampak Lingkungan.
Menurut Faaza Fakhrunnas selaku akademisi, perusahaan harus memiliki analisis dampak segala macam limbah yang dihasilkan bagi lingkungan. Misalnya plastik. “Kalau terkait plastik itu, concernnya juga lebih ke limbahnya, bukan ke plastiknya. Sejauh ini perusahaan tidak sampai ke dampak penggunaan plastik setelah diproduksi.” tambah Faaza. Sejauh ini perusahaan melihat plastik sebagai sampah yang sama seperti sampah yang lain. Banyak perusahaan hanya berkontribusi dalam pemisahan jenis sampah, lalu distribusi dan pengolahan sampah telah lepas kendali dari sektor perusahaan.
Dari kacamata environmental economy, tentu ini melenceng dari esensi amdal yang menekankan pada peran perusahaan atas tanggung jawab dalam pengolahan limbahnya. Terlepas dari masalah pengolahan limbah plastik yang digunakan oleh perusahaan, ekonomi dan etika  juga turut menjadi sorotan bagi perusahaan atau produsen itu sendiri dalam rangka memaksimalkan keuntungan dari satu produk. “Apalagi nih etika ekonomi itu senantiasa dipertentangkan ,etik tapi ga untung, ga etik tapi untungnya besar, yang etisnya ada untungnya ada itupun juga tidak cukup banyak.” pungkas Faaza.
Masalah mendasar yang melatarbelakangi persoalan ini adalah kesadaran dari masyarakat yang terlibat. Regulasi telah didesain sedemikian rupa, namun pelaksanaan di lapangan tidak sesuai dengan kaidah yang ditetapkan. Selain itu kebiasaan masyarakat Indonesia yang terobsesi dengan kemudahan telah mengakar kuat. Stereotip ini harus mulai diberantas, karena kepentingan bumi merupakan kebutuhan seluruh manusia yang tidak dapat diganggu gugat.
Dewasa ini telah bermunculan alternatif pengganti plastik demi upaya pengurangan pemakaian plastik yang sekali pakai. Hal ini harus terus didukung demi distribusi dan pengolahan sampah plastik yang lebih baik. Harapannya semoga tidak hanya titik equilibrium rumah tangga dan perusahaan saja yang menjadi fokus pemerintah, namun keseimbangan pengolahan limbah sampah plastik di segala sektor harus mulai ditegaskan, mengingat bumi kita adalah suatu hunian yang tidak terbeli oleh apapun, termasuk sampah sekalipun.

Tren Penggunaan Stainless Straw
Menurut data National Geographic Indonesia, pemakaian sedotan plastik di Indonesia mencapai 93.244.847 batang setiap harinya. Angka ini terbilang cukup besar dan mengkhawatirkan. Tingginya jumlah sampah sedotan plastik harus berbanding lurus dengan upaya pengurangan sedotan dan atau pengembangan alternatif lain pengganti sedotan. Dewasa ini muncul suatu industri yang digadang bisa membantu mengurangi penggunaan sedotan plastik, yaitu stainless straw.
Stainless straw adalah sedotan yang terbuat dari campuran besi, nikel, dan mineral tambang lainnya. Stainless straw dapat digunakan berkali-kali sesuai dengan kelayakan pakai yang tergantung pada perawatannya. Munculnya industri ini memberikan harapan baru bagi pengurangan sampah sedotan. Stainless straw dapat dibeli di beberapa reseller, salah satunya adalah Rossa Bella Addina, mahasiswa Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan Universitas Islam Indonesia. Alasan utama yang melatarbelakangi usaha ini adalah tentang kesehatan. Rossa Bella mengungkapkan bahwa sering menemui sisi dalam sedotan plastik berdebu dalam arti lain tidak bersih, selain itu terkadang sedotan plastik juga nampak bak telah digunakan oleh orang lain lalu dicuci dan dipergunakan ulang.
Pada sisi lain juga terdapat isu tentang maraknya sampah sedotan plastik. Maka dari itu dengan adanya stainless straw diharapkan bisa memberi solusi atas dua permasalahan sekaligus, yaitu kesehatan dan upaya pengurangan sampah. Pada dasarnya usaha ini merupakan sebuah bisnis. Tren pemakaian stainless straw dimanfaatkan beberapa orang untuk memulai bisnis. Seperti pengakuan Rossa Bella, ia mematok keuntungan tidak lebih dari 30%, sebab bisnis yang ia mulai ditekankan pada kekhawatirannya atas kesehatan penggunaan sedotan plastik yang tidak bersih. Target pasar yang dituju adalah mahasiswa serta pelajar sekolah menengah, dikarenakan usia ini cenderung ingin mengikuti tren. “Selama tren itu baik, ya kenapa tidak” pungkasnya.
Namun dalam praktik pembuatannya, stainless straw juga menimbulkan masalah. Bahan dasar stainless straw merupakan sumber daya yang tidak dapat diperbaharui, artinya produksi dalam skala yang sangat besar dapat memunculkan persoalan baru di sektor pertambangan mengenai kelangkaan dan pencemaran lingkungan. Selain itu pembuatan stainless straw membutuhkan tenaga yang relatif besar. Lalu apabila stainless straw tidak layak pakai maka akan dibuang dan kembali menjadi sampah. Namun poin terpenting dari alternatif stainless straw adalah penggunaan sedotan yang berulang-ulang. Penekanan didasarkan pada pengurangan sampah plastik yang dapat ditebus dengan penggunaan stainless straw dalam frekuensi yang besar dan konsisten.
“Kembali lagi kalo yang sedotan, cuma sekali pakai kalo yang stainless itu kita bisa berkali-kali pakai. Bisa dibilang kalo semisal kita langsung, semisal nih satu toko atau satu rumah makan beli sedotan yang plastik itu kan langsung banyak kalo dia beli yang stainless itukan dia beli sedikit tapi kan bisa dipakai berulang-ulang kan itu biasanya lebih hemat. Untuk jangka panjangnya biasanya lebih hemat dan lebih ramah lingkungan juga”. Dari pernyataan Ali Z. Abidin selaku ketua I organisasi pecinta lingkungan Earth Hour Yogyakarta, menunjukan dukungan terhadap penggunaan stainless straw. Ada multiplier effect dari penggunaan stainless straw dalam sisi ekonomi, yaitu penghematan anggaran apabila penggunaan stainless straw dilakukan dengan frekuensi besar dan konsisten.
Terlepas dari efisiensi dan efektifitas yang ditawarkan, suatu waktu stainless straw juga dapat menjadi sampah baru serta menimbulkan permasalahan baru bagi lingkungan. Maka tugas lanjutan kita adalah mencoba mencari bagaimana mengatasi tantangan tersebut. Perlu adanya research terus-menerus untuk menemukan solusi terbaik. Hasil pemakaian dari stainless straw nantinya dapat dilebur atau dilelehkan. Prinsip perubahan fisika dapat digunakan sebagai alternatif pengolahan limbah stainless straw. Seperti yang dimuat dalam jurnal Pelatihan Pengolahan Limbah Alumunium Melalui Proses Pengecoran Logam, bukan hanya sampah plastik yang dapat didaur ulang, tetapi limbah aluminium juga dapat didaur ulang sebagai material teknik untuk bahan baku lainnya.
  
 Alternatif Penundaan Pembuangan Sampah
Pembahasan mengenai sampah adalah topik yang cukup urgent dan seolah tidak ada habisnya. Berangkat dari masalah pengolahan limbah sampah plastik setelah penggunaannya, memang cenderung masih menjadi problematika bagi khalayak umum. Mindset yang telah tertanam kuat dalam benak masyarakat, yaitu memutuskan untuk membuang sampah berarti telah mengakhiri permasalahan. Justru dari kegiatan yang senantiasa dilakukan secara berulang itu cenderung akan memulai awal munculnya sebuah masalah. “Jadi kembali lagi itu adalah masalah habit. Kita tidak bisa semena-mena menyalahkan produksi plastik yang begitu banyak. Sebenarnya lebih ke perilaku manusianya masing-masing. Yang dimana justru kita bisa mengurangi malah karena biaya yang murah kita cenderung hanya menggunakan dan tidak memperhatikan pengolahannya”, tegas Yebi Yuriandala, Co-Founder Butik Daur Ulang.
Peningkatan pertumbuhan jumlah penduduk di Indonesia juga turut mempengaruhi produksi sampah di Indonesia, terkhusus sampah plastik. Diperkirakan hanya sekitar 60%  sampah-sampah di kota besar di Indonesia yang dapat terangkut ke TPA. Banyaknya sampah yang tidak terangkut secara langsung ke TPA (Tempat Pemrosesan Akhir) cenderung berakhir pada kasus pembakaran sampah plastik oleh masyarakat itu sendiri, parahnya dapat langsung dibuang secara sembarangan ke dalam sungai atau laut yang dapat secara langsung mencemari lingkungan. Padahal apabila dikelola dengan baik sampah plastik tersebut dapat memberikan nilai guna yang lebih.
Keberhasilan dalam pengelolaan sampah tidak hanya tergantung pada aspek teknis seperti pewadahan, pengumpulan, pengangkutan dan pembuangan akhir sampah, namun juga harus memperhatikan aspek non-teknis dalam pengelolaannya. Aspek non-teknis ini meliputi keterkaitan lembaga atau organisasi yang mengelola sampah dan keterlibatan masyarakat penghasil sampah dalam aktivitas penanganan sampah.
Menurut Yebi, pengolahan sampah yang baik dan benar secara teknis dapat memberikan keuntungan bukan hanya untuk beliau sebagai Co-Founder salah satu badan ekonomi kreatif, tetapi juga dapat berdampak secara tidak langsung terhadap masyarakat. Pendapatan yang diperoleh dari usahanya alih-alih dihitung sebagai profit, justru diakali dengan sedemikian rupa sebagai sarana edukasi untuk masyarakat. “Kalau tujuan awal kami mendirikan ini bukan untuk profit. Sampai sekarangpun, kita lebih ke social project, kendatipun kita ada keuntungan nanti itu kita akan gunakan untuk kegiatan yang sosial. Kalaupun ada profit yang lebih nanti kita akan subsidi untuk melakukan pelatihan nantinya pada masyarakat yg membutuhkan”, tuturnya.
 Dengan munculnya beberapa alternatif penggunaan sampah plastik serta penundaan pembuangannya ke bank sampah, mungkin hal yang masih menjadi masalah yaitu kesadaran pada diri masyarakat itu sendiri. Bukankah dengan kita meningkatkan kesadaran pada diri sendiri itu merupakan suatu hal yang baik? Toh, mulai sadar akan penggunaan dan pengolahan sampah plastik yang baik tidak hanya menguntungkan bagi diri kita sendiri secara pribadi, tetapi juga akan berdampak simultan bagi kelangsungan hidup makhluk hidup lainnya. Bahkan apabila ditelaah lebih jauh, proses penundaan pembuangan sampah plastik itu sendiri dapat menghasilkan uang bagi si penghasil sampah. Pemilahan sampah bukan hanya sekadar kegiatan biasa, namun dibalik pemilahan itu tersembunyi keuntungan yang ditawarkan. Hal-hal bersifat materi yang didapatkan dari konsep menabung di bank sampah pun dapat menjadi sebuah dorongan untuk meningkatkan kesadaran individu masing-masing.


Industrialisasi Subtitusi Impor


Sejak usainya Perang Dunia 2 banyak negara berkembang ingin mengembangkan sektor manufaktur dengan cara pembatasan impor. Pembatasan ini dilakukan untuk menguatkan industri manufaktur dalam negeri. Pada saat itu pemerintahan di negara-negara berkembang banyak menerapakan teori-teori ekonomi mengenai ketahanan industri manufaktur, salah satunya yang paling terkenal dan relevan saat itu adalah infant industry argument.
I.                   Infant Industry Argument
Menurut argumen ini, pada dasarnya negara berkembang mempunyai keunggulan komparatif di sektor manufaktur. Namun, keunggulan tersebut pada awalnya tidak mampu bersaing dengan manufaktur di negara maju. Maka dari itu, pemerintah negara berkembang perlu untuk melakukan proteksi pada sektor manufaktur untuk mempertahankann eksistensinya. Proteksi dan sokongan ini dilakukan terus menerus sampai indutri manufaktur di negaranya dapat memiliki tumpuan dan bisa mandiri.
Selama ini proteksi yang paling umum dilakukan adalah menggunakan perangkat tarif dan/atau kuota impor. Ketika hambatan perdaganngan ini dilakukan, harapannya produk manufaktur dalam negeri dapat bersaing dengan produk impor. Istilahnya menguatkan eksistensi manufaktur dalam negeri terlebih dahulu.
Kelemahan Infant Industry Argument
Infant Industry Argument begitu masuk akal, mengingat proteksi pada industri manufaktur memang diperlukan. Namun, para ekonom sejak lama telah dapat menunjukan bahwa argumen ini banyak diliputi oleh kelemahan. Sebagai berikut.
1.      Pemusatan pada indutri yang memiliki keunggulan komparatif (manufaktur) tidak seterusnya menjadi pilihan yang tepat.
Ketika suatu negara berkembang memiliki tenaga kerja melimpah dan dapat mengakumulasikan modal yang cukup banyak, maka negara tersebut memiliki keunggulan komparatif di industri padat modal. Meski begitu, bukan berarti negara tersebut harus segera mengutamakan pengembangan sektor industri padat modal dan menganaktirikan sektor-sektor lainnya. Akan lebih baik apabi[la semuanya dilakukan secarra bertahap.
2.      Pemberian proteksi pada manufaktur bukanlah hal yang baik, kecuali jika proteksi itu sendiri sebar-benar dapat membantu industri bersangkuan untuk bersaing di masa yang akan datang.  
Proteksi yang dilakukan pada industri manufaktur bersifat sulit diukur dan tidak dapat dipastikan. Pemusatan proteksi pada salah satu sektor dapat membuat perkembangan industri disektor lain terhambat.
Ada sebuah kasus di Pakistan dan India mengenai pemusatan proteksi pada sektor manufaktur. Selama ini negara tersebut telah melakukan proteksi manufaktur cukup lama, namun industri yang berkembang justru industri yang tidak dilakukan proteksi yang masif. Secara netto, kasus ini malah merugikan, mengingat effort yang diberikan tidak sebanding dengan hasil yang didapat.
Paradoks ini melahirkan sebuah opini dari para ekonom, yaitu “pseido infant industry”. Artinya, industri yang diproteksi itu bisa saja bersaing, akan tetapi itu terjadi atas pengorbanan dari sektor-sektor lain.
3.      Terlalu lamanya waktu yang terbuang untuk membangun suatu industri menjadikan campur tangan pemerintah tidak bisa dibenarkan, kecuali apabila di dalam perekonomian tersebut telah terjadi kegagalan pasar.
Ketika kegagalan pasar terjadi peran pemerintah perlu dilaksanakan untuk mestabilkan kondisi pasar. Tetunya dengan cara yang efektif dan efisien tanpa membutuhkan waktu yang lama untuk mengembalikan kondisi pasar yang normal. Di saat pasar mulai stabil pembangunan industri bisa kembali lancar dengan peran orang-orang yang ada didalam industri tersebut

II.                Pendorongan Sektor Manufaktur Melalui Proteksi
Proteksi-proteksi yang dilakukan tidak lain agar menguatkan industri manufaktur di negaranya. Di negara berkembang, industri manufaktur diarahkan pada perdagangan domestik, artinya memasarkan produksi di dalam negeri sendiri. Untuk menjaga eksistensinya pemerintah dapat melakukannya dengan dua cara (yang banyak berkembang) :
1.      Tariff, pengenaan tarif bagi setiap unit barang impor sehingga harganya relatif mahal, sehingga barang dalam negeri tetap mampu bersaing dari segi harga.
2.      Kuota impor, pembatasan kuota impor juga berimplikasi pada harga barang impor yang menjadi lebih mahal. Hal ini sesuai dengan teori permintaan, bahwa harga dan kuantitas bersifat negatif.
Kebijakan tariff dan kuota impor bermuara pada pembatasan impor yang biasa dikenal dengan strategi industrialisasi subtitusi/pengganti barang impor. Maksud dari subtitusi dalam konteks ini adalah upaya penggantian/peralihan barang impor ke barang lokal.

III.             Dampak-dampak Pengutamaan Sektor Manufaktur : Berbagai Masalah Industrialisasi Subtitusi Impor
Pengalihan barang-barang impor pada barang lokal tidak sepenuhnya tanpa dampak negatif. Penelitian dalam buku Ekonomi Internasional oleh Krugman menunjukan bahwa tidak ada negara yang berhasil menerapkan subtitusi impor secara efisien dan menguntungkan dalam jangka  panjang.
Pengalihan barang-barang tersebut tidak memberikan jaminan bahwa barang manufaktur lokal dapat bersaing dengan barang manufaktur impor. Mengapa demikian? Di negara berkebang kuantitas Sumber Daya Manusia tidak berbandung lurus dengan kualitasnya. Hanya sedikit pekerja yang benar-benar terampil, serta teknologi yang kurang menndukung. Maka dari  itu, tidak ada jaminan bahwa subtitusi impor dapat membuat industri manufaktur dalam negeri lebihh kommpetitif.
Pemusatan pasar domestik sebagai sasaran pemasaran industri manufaktur pun terhitung tidak menguntungkan. Pada dasarnya industtri manufaktur adalah industri bermodal besar (kapital dan pekerja). Sedangkan penanaman modal di negara berkembang cenderung kalah dengan negara maju, serta SDM berkompeten yang tidakk mendukung.

Mengingat industri manufaktur adalah industri padat modal dan melibatkan segelintir kecil masyarakat di suatu negara, hal ini menciptakan perbedaan pendapatan yang cukup jauh di tengah-tengah masyarakat pada saat itu (tahun 1980-an). Maka dari itu, banyak para ekonom yang mengecam dan menuntut pengkajian ulang mengenai Infant Industry Argument dan kebijakan subtitusi impor.


IV.             Studi Kasus, Dualisme Ekonomi di Asia : India
Salah satu negara di Asia yang saat itu cukup masif mengadopsi Infant Industry Argument dalam perekonomiannya adalah India. Proteksi besar-besaran dilakukan dengan memberlakukan subtitusi impor. Dengan jumlah penduduk lebih dari 700 juta jiwa, yang terserap di sektor manufaktur hanya sebesar 6 juta jiwa. Pekerja manufaktur mendapat upah 6 kali lebih besar dari pada petani. Maka dari itu perbedaan upah di India terhitung sangat tajam.

Kesenjagan yang cukup tajam antar 2 sektor itu disebabkan oleh aliran modal yang terpaut cukup jauh di dua sektor tersebut. Sektor manufaktur merajai modal di India tanpa memperdulikan sektor lain yang memiliki potensi (pertanian dan tekstil).

  

Sumber : Ekonomi Internasional (Teori dan Kebijakan) oleh Paul R. Krugman