Dunia menuntut kita
untuk terus berinovasi agar mencapai kelancaran mobilitas dalam berbagai macam
hal. Efisiensi menjadi tujuan utama dari adanya sebuah inovasi. Seiring
perkembangan zaman, tidak sedikit produk buah hasil inovasi menjadi masalah
baru bagi peradaban, salah satunya adalah sampah plastik. Kemudahan yang
diberikan dalam menggunakan bahan-bahan plastik tentunya semakin menarik
khalayak umum untuk menggunakannya.
Menurut data Asosiasi Industri Plastik Indonesia (INAPLAS) dan Badan Pusat Statistik
(BPS), setiap tahunnya Indonesia menyumbang 64 juta ton sampah plastik, dan
sebanyak 3,2 juta ton diantaranya berada di laut. Berdasarkan data tersebut
sampah plastik menjadi primadona dalam problematika pengolahan sampah,
mengingat penguraian sampah plastik membutuhkan waktu yang sangat lama dan zat
mikro yang ditinggalkan sangat berbahaya bagi lingkungan. Kondisi ini sangat
paradoks dengan budaya masyarakat Indonesia, plastik masih menjadi teknologi
untuk segala efisiensi dan mobilitas. Semakin menggunungnya sampah plastik
sebaiknya berbanding lurus dengan upaya penekanan dan pengolahan sampah plastik
yang lebih baik.
Sirkular Ekonomi
Dalam kegiatan
perekonomian terdapat 4 sektor yang menggerakan roda perekonomian. Yaitu rumah
tangga, perusahaan, pemerintah, dan luar negeri. Dalam praktik yang benar,
seluruh sektor memiliki peran penting dalam proses produksi, distribusi, dan
konsumsi. Artinya dari pengadaan sampai pembuangan suatu barang perlu adanya
kontribusi dari semua sektor. Sejauh ini permasalahan paling klasik pada
sirkular ekonomi adalah perihal pengolahan sampah.
Dalam praktiknya,
perusahaan memaksimalkan produksi dengan biaya tertentu, dimana penghematan dan
perhitungan biaya produksi menjadi prinsipnya. Dari kacamata industri, maka
rasionalnya perusahaan akan memilih sesuatu yang mudah dan menguntungkan,
penggunaan plastik dalam usaha salah satunya. Maka tidak heran jika sampah
plastik masih menjadi primadona dalam problematika pengolahan sampah.
Pemerintah telah menetapkan regulasi mengenai pendirian suatu perusahaan dalam
pasal 36 ayat (1) Undang Undang Nomor 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPPLH) menyebutkan bahwa "Setiap usaha
dan/atau kegiatan yang wajib memiliki amdal atau UKL-UPL wajib memiliki izin
lingkungan". Amdal adalah akronim dari Analisis Mengenai Dampak
Lingkungan.
Menurut Faaza Fakhrunnas
selaku akademisi, perusahaan harus memiliki analisis dampak segala macam limbah
yang dihasilkan bagi lingkungan. Misalnya plastik. “Kalau terkait plastik itu, concernnya
juga lebih ke limbahnya, bukan ke plastiknya. Sejauh ini perusahaan tidak
sampai ke dampak penggunaan plastik setelah diproduksi.” tambah Faaza. Sejauh
ini perusahaan melihat plastik sebagai sampah yang sama seperti sampah yang
lain. Banyak perusahaan hanya berkontribusi dalam pemisahan jenis sampah, lalu
distribusi dan pengolahan sampah telah lepas kendali dari sektor perusahaan.
Dari kacamata environmental
economy, tentu ini melenceng dari esensi amdal yang menekankan pada peran
perusahaan atas tanggung jawab dalam pengolahan limbahnya. Terlepas dari
masalah pengolahan limbah plastik yang digunakan oleh perusahaan, ekonomi dan
etika juga turut menjadi sorotan bagi perusahaan atau produsen itu
sendiri dalam rangka memaksimalkan keuntungan dari satu produk. “Apalagi nih
etika ekonomi itu senantiasa dipertentangkan ,etik tapi ga untung, ga
etik tapi untungnya besar, yang etisnya ada untungnya ada itupun juga tidak
cukup banyak.” pungkas Faaza.
Masalah mendasar yang
melatarbelakangi persoalan ini adalah kesadaran dari masyarakat yang terlibat.
Regulasi telah didesain sedemikian rupa, namun pelaksanaan di lapangan tidak
sesuai dengan kaidah yang ditetapkan. Selain itu kebiasaan masyarakat Indonesia
yang terobsesi dengan kemudahan telah mengakar kuat. Stereotip ini harus mulai
diberantas, karena kepentingan bumi merupakan kebutuhan seluruh manusia yang
tidak dapat diganggu gugat.
Dewasa ini telah
bermunculan alternatif pengganti plastik demi upaya pengurangan pemakaian
plastik yang sekali pakai. Hal ini harus terus didukung demi distribusi dan
pengolahan sampah plastik yang lebih baik. Harapannya semoga tidak hanya titik
equilibrium rumah tangga dan perusahaan saja yang menjadi fokus pemerintah,
namun keseimbangan pengolahan limbah sampah plastik di segala sektor harus
mulai ditegaskan, mengingat bumi kita adalah suatu hunian yang tidak terbeli
oleh apapun, termasuk sampah sekalipun.
Tren Penggunaan Stainless Straw
Menurut data National
Geographic Indonesia, pemakaian sedotan plastik di Indonesia mencapai
93.244.847 batang setiap harinya. Angka ini terbilang cukup besar dan
mengkhawatirkan. Tingginya jumlah sampah sedotan plastik harus berbanding lurus
dengan upaya pengurangan sedotan dan atau pengembangan alternatif lain
pengganti sedotan. Dewasa ini muncul suatu industri yang digadang bisa membantu
mengurangi penggunaan sedotan plastik, yaitu stainless straw.
Stainless straw adalah
sedotan yang terbuat dari campuran besi, nikel, dan mineral tambang lainnya.
Stainless straw dapat digunakan berkali-kali sesuai dengan kelayakan pakai yang
tergantung pada perawatannya. Munculnya industri ini memberikan harapan baru
bagi pengurangan sampah sedotan. Stainless straw dapat dibeli di beberapa reseller,
salah satunya adalah Rossa Bella Addina, mahasiswa Fakultas Teknik Sipil dan
Perencanaan Universitas Islam Indonesia. Alasan utama yang melatarbelakangi
usaha ini adalah tentang kesehatan. Rossa Bella mengungkapkan bahwa sering
menemui sisi dalam sedotan plastik berdebu dalam arti lain tidak bersih, selain
itu terkadang sedotan plastik juga nampak bak telah digunakan oleh orang lain
lalu dicuci dan dipergunakan ulang.
Pada sisi lain juga
terdapat isu tentang maraknya sampah sedotan plastik. Maka dari itu dengan
adanya stainless straw diharapkan bisa memberi solusi atas dua permasalahan
sekaligus, yaitu kesehatan dan upaya pengurangan sampah. Pada dasarnya usaha
ini merupakan sebuah bisnis. Tren pemakaian stainless straw dimanfaatkan
beberapa orang untuk memulai bisnis. Seperti pengakuan Rossa Bella, ia mematok
keuntungan tidak lebih dari 30%, sebab bisnis yang ia mulai ditekankan pada
kekhawatirannya atas kesehatan penggunaan sedotan plastik yang tidak bersih.
Target pasar yang dituju adalah mahasiswa serta pelajar sekolah menengah,
dikarenakan usia ini cenderung ingin mengikuti tren. “Selama tren itu baik, ya
kenapa tidak” pungkasnya.
Namun dalam praktik
pembuatannya, stainless straw juga menimbulkan masalah. Bahan dasar stainless
straw merupakan sumber daya yang tidak dapat diperbaharui, artinya produksi
dalam skala yang sangat besar dapat memunculkan persoalan baru di sektor
pertambangan mengenai kelangkaan dan pencemaran lingkungan. Selain itu
pembuatan stainless straw membutuhkan tenaga yang relatif besar. Lalu apabila
stainless straw tidak layak pakai maka akan dibuang dan kembali menjadi sampah.
Namun poin terpenting dari alternatif stainless straw adalah penggunaan sedotan
yang berulang-ulang. Penekanan didasarkan pada pengurangan sampah plastik yang
dapat ditebus dengan penggunaan stainless straw dalam frekuensi yang besar dan
konsisten.
“Kembali lagi kalo
yang sedotan, cuma sekali pakai kalo yang stainless itu kita bisa
berkali-kali pakai. Bisa dibilang kalo semisal kita langsung, semisal nih
satu toko atau satu rumah makan beli sedotan yang plastik itu kan langsung
banyak kalo dia beli yang stainless itukan dia beli sedikit tapi kan bisa
dipakai berulang-ulang kan itu biasanya lebih hemat. Untuk jangka panjangnya
biasanya lebih hemat dan lebih ramah lingkungan juga”. Dari pernyataan Ali Z.
Abidin selaku ketua I organisasi pecinta lingkungan Earth Hour Yogyakarta,
menunjukan dukungan terhadap penggunaan stainless straw. Ada multiplier
effect dari penggunaan stainless straw dalam sisi ekonomi, yaitu
penghematan anggaran apabila penggunaan stainless straw dilakukan dengan
frekuensi besar dan konsisten.
Terlepas dari efisiensi
dan efektifitas yang ditawarkan, suatu waktu stainless straw juga dapat menjadi
sampah baru serta menimbulkan permasalahan baru bagi lingkungan. Maka tugas
lanjutan kita adalah mencoba mencari bagaimana mengatasi tantangan tersebut.
Perlu adanya research terus-menerus untuk menemukan solusi terbaik.
Hasil pemakaian dari stainless straw nantinya dapat dilebur atau dilelehkan. Prinsip
perubahan fisika dapat digunakan sebagai alternatif pengolahan limbah stainless
straw. Seperti yang dimuat dalam jurnal Pelatihan Pengolahan Limbah Alumunium
Melalui Proses Pengecoran Logam, bukan hanya sampah plastik yang dapat didaur
ulang, tetapi limbah aluminium juga dapat didaur ulang sebagai material teknik
untuk bahan baku lainnya.
Alternatif
Penundaan Pembuangan Sampah
Pembahasan mengenai
sampah adalah topik yang cukup urgent dan seolah tidak ada habisnya.
Berangkat dari masalah pengolahan limbah sampah plastik setelah penggunaannya,
memang cenderung masih menjadi problematika bagi khalayak umum. Mindset yang
telah tertanam kuat dalam benak masyarakat, yaitu memutuskan untuk membuang
sampah berarti telah mengakhiri permasalahan. Justru dari kegiatan yang
senantiasa dilakukan secara berulang itu cenderung akan memulai awal munculnya
sebuah masalah. “Jadi kembali lagi itu adalah masalah habit. Kita tidak
bisa semena-mena menyalahkan produksi plastik yang begitu banyak. Sebenarnya
lebih ke perilaku manusianya masing-masing. Yang dimana justru kita bisa
mengurangi malah karena biaya yang murah kita cenderung hanya menggunakan dan
tidak memperhatikan pengolahannya”, tegas Yebi Yuriandala, Co-Founder Butik
Daur Ulang.
Peningkatan pertumbuhan
jumlah penduduk di Indonesia juga turut mempengaruhi produksi sampah di
Indonesia, terkhusus sampah plastik. Diperkirakan
hanya sekitar 60% sampah-sampah di kota besar di Indonesia yang dapat
terangkut ke TPA. Banyaknya sampah yang tidak terangkut secara langsung
ke TPA (Tempat Pemrosesan Akhir) cenderung berakhir pada kasus pembakaran
sampah plastik oleh masyarakat itu sendiri, parahnya dapat langsung dibuang
secara sembarangan ke dalam sungai atau laut yang dapat secara langsung mencemari
lingkungan. Padahal apabila dikelola dengan baik sampah plastik tersebut dapat
memberikan nilai guna yang lebih.
Keberhasilan
dalam pengelolaan sampah tidak hanya tergantung pada aspek teknis seperti
pewadahan, pengumpulan, pengangkutan dan pembuangan akhir sampah, namun juga
harus memperhatikan aspek non-teknis dalam pengelolaannya. Aspek non-teknis ini
meliputi keterkaitan lembaga atau organisasi yang mengelola sampah dan
keterlibatan masyarakat penghasil sampah dalam aktivitas penanganan sampah.
Menurut Yebi, pengolahan
sampah yang baik dan benar secara teknis dapat memberikan keuntungan bukan
hanya untuk beliau sebagai Co-Founder salah satu badan ekonomi kreatif, tetapi
juga dapat berdampak secara tidak langsung terhadap masyarakat. Pendapatan yang
diperoleh dari usahanya alih-alih dihitung sebagai profit, justru diakali
dengan sedemikian rupa sebagai sarana edukasi untuk masyarakat. “Kalau tujuan
awal kami mendirikan ini bukan untuk profit. Sampai sekarangpun, kita lebih ke social
project, kendatipun kita ada keuntungan nanti itu kita akan gunakan untuk
kegiatan yang sosial. Kalaupun ada profit yang lebih nanti kita akan subsidi
untuk melakukan pelatihan nantinya pada masyarakat yg membutuhkan”, tuturnya.
Dengan munculnya beberapa alternatif penggunaan
sampah plastik serta penundaan pembuangannya ke bank sampah, mungkin hal yang
masih menjadi masalah yaitu kesadaran pada diri masyarakat itu sendiri.
Bukankah dengan kita meningkatkan kesadaran pada diri sendiri itu merupakan
suatu hal yang baik? Toh, mulai sadar akan penggunaan dan pengolahan
sampah plastik yang baik tidak hanya menguntungkan bagi diri kita sendiri
secara pribadi, tetapi juga akan berdampak simultan bagi kelangsungan hidup
makhluk hidup lainnya. Bahkan apabila ditelaah lebih jauh, proses penundaan
pembuangan sampah plastik itu sendiri dapat menghasilkan uang bagi si penghasil
sampah. Pemilahan sampah bukan hanya sekadar kegiatan biasa, namun dibalik
pemilahan itu tersembunyi keuntungan yang ditawarkan. Hal-hal bersifat materi
yang didapatkan dari konsep menabung di bank sampah pun dapat menjadi sebuah
dorongan untuk meningkatkan kesadaran individu masing-masing.