Akhir-akhir ini mahasiswa sedang disibukkan dengan jadwal demo yang membludak. Para elite disibukkan memasang strategi, sedang para petinggi sibuk merevisi. Kasihan sekali menjadi Indonesia, sedang tertimpa komplikasi yang rasanya nggak segera sembuh dalam waktu dekat; RUU KPK, kebakaran hutan, Rasisme Papua, konflik agraria yang tak berkesudahan, dll.
September menjadi momen penghabisan darah hingga titik kritis jika diibaratkan sebagai tubuh manusia. Masalah itu semakin lengkap dibumbui oleh Revisi Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) yang dikhawatirkan mencederai kebebasan warga negara. Ya benar, baru-baru ini Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) sedang sibuk menggodok KUHP.
Dalih dekolonisasi tidak membuat RKUHP terlihat lebih elegan. KUHP tetap saja menjadi peninggalan otentik dari kolonialisme; berasal dari Wetboek van Strafrecht voor Nederlandsch-Indie yang berlaku sejak 1 Januari 1918. Setelah kemerdekaan, pasal yang tidak relevan dengan kondisi saat itu direduksi, hingga akhirnya menjadi seperti yang sekarang dikenal dengan KUHP.
Sudah semestinya undang-undang mengatur kehidupan bernegara agar lebih tertib. Namun RKUHP justru terbalik, di awal rilisnya ia berhasil menciptakan iklim yang tidak menyenangkan, terbukti dengan adanya banyak perlawanan dari masyarakat. Sudah basi memang mengatakan bahwa RKUHP penuh dengan kontra, tapi memang itu kenyataan pahitnya; RKUHP buncit akan pasal karet.
Suburnya pasal karet mengindikasikan sebuah tatanan hukum yang mudah menjebak. Pasal-pasal lentur ini dapat dimanfaatkan untuk menjerat tersangka tak bersalah. Pasal-pasal ini dapat menjadi agenda tersendiri untuk menuntaskan kepentingan sekelompok orang untuk memenjarakan orang lain. Sederhananya bersifat fleksibel sesuai kesalahan terdakwa yang dicari-cari. Misal, dalam Pasal 417, tentang Pasal Perzinaan. Seorang suami yang memiliki masalah dan ingin menuntut istri dapat mencari celah melalui pasal ini. Begitupun dengan pasal lain, terdapat banyak celah untuk memenjarakan orang yang belum tentu bersalah.
KUHP ini isinya beragam. Kodifikasi di dalamnya membuat RKUHP terlihat seakan memiliki kepentingan lain. Kalau dilihat-lihat, RKUHP tidak jauh beda dengan RUU KPK; sama-sama melemahkan. RKUHP jelas melemahkan banyak pihak; masyarakat dan jurnalis. Pasal mengenai penghinaan kepada presiden –Pasal 218 dan 219 tentang Penyerangan Kehormatan atau Harkat dan Martabat Presiden dan Wakil Presiden– seakan menunjukan suatu perangkat yang anti kritik. Kebebasan rakyat dalam mengkritik presiden semakin ditekan, pun media tak lagi vokal mengabarkan sesuatu yang diduga janggal.
RKUHP sudah seperti danusan kepanitiaan. Segala bentuk kesalahan yang receh dihitung dengan cuan. Kalau danusan kepanitiaan identik dengan jajanannya yang mahal, RKUHP menjual UU kepada orang yang salah dengan harga yang mahal pula. Bahkan gelandangan pun tak luput dari objek pemerasan UU –RKUHP Bagian Kedelapan tentang Penggelandangan, pasal 432–. Coba pikir, harus bayar pakai apa jika gelandangan aja didenda 1 juta? Kalau dia punya duit 1 juta, nggak akan nggelandang deh kayaknya.
Danusan RKUHP tentang penggelandangan ini paradoks dengan janji Presiden Joko Widodo mengenai Kartu Pra-Kerja, yang berbunyi akan memberikan tunjangan bagi pengangguran selama kurun waktu tertentu. Pembedaan ini terbilang tidak adil, gelandangan adalah sebuah kelompok yang perlu ditolong dan diarahkan.
Sila ke 5 dalam Pancasila yang seharusnya menjadi acuan dalam merumuskan UU seakan tidak kentara pelibatannya dalam pasal yang memarjinalkan gelandangan ini, sebab bertentangan dengan apa yang dicanangkan Presiden. Apakah gelandangan tidak mempunyai kesempatan yang sama dengan pengangguran agar bisa mendapat bimbingan? Gelandangan seperti apa yang mendapat hak yang sama dengan pengangguran? Jadi, apakah gelandangan itu bukan pengangguran?
Terdapat beberapa pasal yang menyentuh ranah privasi masyarakat yang seharusnya tidak diatur oleh negara. Dua pasang kekasih yang saling melebur cinta di dalam kamar tanpa mengganggu orang lain pun tak luput dari intervensi pemerintah. Sudah seharusnya sesuatu yang tidak bisa diterima oleh norma setempat diselesaikan secara paguyuban oleh masyarakat itu sendiri. Sanksi sosial lebih pantas diterima daripada jeratan pasal yang seperti danusan; dikit-dikit denda. Negara hadir apabila represif yang diberikan masyarakat terhitung bar-bar (pemukulan, pengeroyokan, menelanjangi, dan mengarak keliling kampung).
"Koe ngopo e su urusan karo pengadilan?” “Wingi pithikku ngidak ngidak kebone tonggo.” Obrolan yang receh, bukan, Apabila pasal 278 saklek disahkan? Pasal ini masih bias. Ulah unggas seperti apa yang dapat melayangkan uang rakyat ke saku negara? Apakah 1 unggas yang masuk kebun terhitung sama dengan 100 unggas yang merusak kebun? Belum lagi bunyi ayat 2 yang mengatakan bahwa unggas dapat dirampas untuk negara. Perampasan unggas seperti apa yang dapat dilakukan oleh negara? Btw unggasnya buat apa? Untuk diternak di Istana? Atau dijual juga untuk danusan?
RKUHP juga kontras dengan permasalahan klasik yang sekarang cukup urgent, yaitu tentang pendidikan seksual. Ketika dunia sedang sibuk meneriakan pendidikan seksual untuk menekan HIV, RKUHP justru bersikap lain dalam pasal 481. Setiap orang yang melakukan sosialisasi alat untuk mencegah kehamilan dapat dipidana denda Rp 10 Juta, hanya petugas berwenang dalam rangka keluarga berencana yang diperbolehkan. Bukan dalih pornografi berbalut pendidikan seksual yang ingin diterima publik. Lagi-lagi ancaman pelanggaraan ini adalah denda yang memiliki mangsa cukup luas. Cocok digunakan sebagai lapak danusan.
Seakan janjian, RKUHP memiliki kesamaan dengan RUU KPK. Sudah menjadi konsumsi publik bahwa KPK cenderung dilemahkan arah geraknya. Pasal-pasal itu seakan berbunyi “gapapa korupsi kalau sedikit”. Dalam RKUHP, hal ini termaktub dalam Pasal 604 yang menerangkan bahwa hukuman bagi koruptor minimal 2 tahun kurungan.
Dalam KUHP yang lama hukuman penjara bagi koruptor secepat-cepatnya adalah 4 tahun kurungan. Diremisi sebelum tertangkap. Menurut Nasir Djamil, Anggota Panja RKUHP, dilansir oleh Liputan6.com mengatakan “Kita inginkan itu bagaimana institusi penegak hukum terkait dengan korupsi itu lebih mampu menyelamatkan uang negara ketimbang memberikan hukuman yang berat kepada pelakunya."
UU yang baru tentang koruptor ini kontras dengan apa yang selama ini diteriakkan oleh masyarakat. Nampaknya seberat-beratnya hukuman bagi pencuri uang rakyat hanya sebuah angan-angan di Indonesia. Hukuman orang yang menggugurkan kandungannya sendiri lebih berat daripada sampah yang memakan uang rakyat.
Masih banyak RKUHP yang dirasa mentah dan bias. RKUHP memiliki mangsa pasar yang cukup besar di masyarakat. Apabila RKUHP ini disahkan, siap-siap saja lapas akan mendadak semakin buncit, pun menambah anggaran guna membuka lapas baru bisa saja dibutuhkan. Juga negara mendadak kaya dari hasil danusan yang laris manis. Duit rakyat diputar untuk bangun lapas, nice.
Sebenarnya RKUHP dibuat untuk apa?
Penundaan peresmian yang dilantunkan oleh Pak Presiden seakan bernada "Maaf ya, aku belum bisa kasih jawabannya sekarang." Jangan senang dulu! Romantisme dalam peresmian RKUHP antara DPR dan Presiden harus terus diamati. Terlebih Fahri Hamzah, Wakil Ketua DPR RI, kemarin mengatakan kepada media bahwa ujaran penundaan dari Pak Presiden terhitung terlambat. Sidang paripurna akan segera digelar. Terlepas dari itu, semoga penundaan ini menjadi angin segar bagi Indonesia.
Ayo kawal terus RKUHP! Panjang Umur Perjuangan!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar